Sumber : Internet

FENOMENA perilaku mesum di Aceh sungguh mencengangkan, banyak orang mengatakan han ek tapike (tidak habis pikir) mengapa hal tersebut tumbuh subur di negeri syariat. Padahal dulu ketika Aceh masih dalam konflik, masyarakat meminta agar Aceh diberlakukan Syariat Islam. Ketika keberadaan syariat semakin kuat dengan regulasi-regulasi formal malah perilaku pelanggaran syariat (mesum) tersebut seperti tak dapat dibendung? Hukum cambuk lumpuh tak bergeming. Ada yang mengatakan bahwa faktor itu dipengaruhi oleh kuatnya pengaruh penyelesaian melalui peradilan adat?

Berbicara Aceh, tidak dapat dilepaskan dari empat keistimewaan utama yang dimilikinya, dan ini merupakan perjuangan panjang Aceh dalam ke-Indonesian, yaitu: keistimewaan bidang agama, bidang kehidupan adat, bidang pendidikan, dan ditambah satu lagi dengan keistimewaan peran ulama. Keempat keistimewaan ini masih menjadi tuntutan utama dan kini melekat erat sebagai cerminan dari kehidupan masyarakat Aceh.

Ruh syariat Islam

Oleh sebab itu, tidak salah apabila pemerintah meletakkan ruh syariat Islam dalam membina seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh, terutama dalam wujud regulasi sebagai tata aturan positif dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dan hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh regulasi Papua yang diletakkan berdasarkan kepada hukum adat.

Dalam implementasi qanun-qanun Aceh pun, ruh syariat selalu melekat. Berdasarkan Qanun No.5/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun Aceh disebutkan, yang menjadi satu hal wajib yang harus dimuat sebagai landasan untuk melahirkan sebuah Qanun di Aceh ialah adanya landasan Islami. Sementara daerah-daerah lain hanya mengacu kepada 3 landasan saja, yakni, landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan sosiologis.

Dalam Pasal 3 Qanun 5/2011 juga disebutkan, satu materi muatan qanun mengandung asas Dinul Islam. Jadi, berbicara Aceh tidak lain ialah berbicara Islam (Syariat Islam) dan jawaban konkret sebagai salah satu contoh ialah lahirnya Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum), dan kini sebetulnya sedang diupayakan dibentuk secara terintegrasi dalam suatu Qanun Jinayah. Sayangnya Qanun Jinayah hingga sekarang belum disahkan.

Walaupun demikian, qanun mesum yang telah diundangkan dengan segala perangkatnya Wilayatul Hisbah (WH) dan Mahkamah Syar’iyyah (MS) sejak 11 tahun lalu tetap dapat dilaksanakan. Namun, belakangan ini (setidaknya dalam 2 tahun terakhir ini) qanun tersebut seperti mati suri. Tidak pernah lagi kita dengar ada hukuman cambuk di halaman masjid pada hari Jumat, seperti sebelumnya.
Demikian pula kita lihat, tidak ada lagi pelaku mesum yang disidangkan di Mahkamah Syari’iyyah seperti awal qanun ini menggema. Yang jadi pertanyaan adalah apakah ini menandakan tidak ada lagi perbuatan mesum di Aceh? Atau adakah sudah terjadi pergeseran penyelesaian kasus, dari penyelesaian melalui Mahkamah Syar’iyyah kepada penyelesaian Mahkamah Adat (MA) atau Peradilan Adat?

Fenomena seks bebas

Pada akhir Maret 2013 lalu, Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Jamal pernah mengungkapkan bahwa di kota Banda Aceh ada fenomena free sex (seks bebas) yang dilakukan oleh anak usia sekolah. Fenomena ini tentu lebih dari sekadar mesum. Kemudian, ada juga terdengar kabar seorang ajudan (mantan ajudan) Walikota Banda Aceh ditangkap WH karena di duga telah melakukan perbuatan mesum, namun kemudian berakhir setelah diminta dilepaskan oleh kepala WH sendiri saat itu.

Kasus yang disebutkan terakhir itu berujung pada pencopotan komandan WH. Tetapi nasib pelaku tidak lagi terdengar, sepertinya tenggelam tidak ada lagi yang mengusik. Tentu ini hanya sebagai contoh karena di sebalik itu, baik yang mengemuka ke publik ataupun terselubung dalam kerahasiaan pribadi-pribadi setiap orang ataupun kerahasian tempat-tempat penyedia mesum adalah suatu kenyataan bahwa kasus mesum atau peluang terjadinya mesun semakin merajalela di bumi Serambi Mekkah. Pertanyaanya, apakah ini wujud daerah modern yang diharapkan?

Apabila kasus-kasus ini dipahami sebagai salah satu wujud evolusi manusia kearah kemoderenan, dalam hal ini ialah orang Aceh. Maka tidak salah apabila Mac Iver dalam bukunya Society, An Introduction mengatakan bahwa di Amerika sekalipun, kehidupan modern yang terjadi sejak abad ke-18 lalu, cenderung kepada perilaku seks bebas (free sex), yang disebabkan beberapa faktor seperti karena himpitan ekonomi, kurang skill dan pengaruh perkotaan yang semakin glamour. Adakah orang Aceh yang lahir di tanah syariat, sudah mulai menghayal kepada kehidupan seperti di Amerika itu?

Satu penelitian terkait dengan mesum di kota Lhokseumawe yang dilakukan Abdullah, seorang dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Lhokseumawe menyebutkan, satu akibat berkurangnya penyelesaian kasus mesum melalui WH dan Mahkamah Syar’iyyah, khusus di Kota Lhoseumawe ialah karena penyelesaian kasus mesum telah bergeser. Kasus mesum saat ini lebih mengutamakan penyelesaian secara adat ketimbang kepada jalur WH dan Mahkamah Syar’iyyah.

Hasil penelitian itu telah dipaparkan dalam Aceh Development International Conference (ADIC) yang berlangsung pada 27 Maret 2013 di Kuala Lumpur. Apa yang disimpulkan Abdullah, barangkali ada benarnya. Sebab, sejak Majelis Adat Aceh (MAA) gencar melakukan sosialisasi penyelesaian kasus masyarakat melalui adat dalam beberapa tahun terakhir, maka kasus-kasus yang masuk dalam kategori 18 kasus adat sesuai dengan amanah Qanun 9/2008, bisa diselesaikan melalui mahkamah adat di gampong ataupun mukim.

Kasus-kasus adat sebagaimana dimaksudkan Qanun 9/2008 itu adalah: Perselisihan dalam rumah tangga; Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; Perselisihan antar warga; Khalwat/mesum; Perselisihan tentang hak milik; Pencurian dalam keluarga (pencurian ringan); Perselisihan harta sehareukat; Pencurian ringan; Pencurian ternak peliharaan; Pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; Persengketaan di laut; Persengketaan di pasar; Penganiayaan ringan; Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat); Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; Pencemaran lingkungan (skala ringan); Ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.

Kasus khalwat (mesum)

Hanya saja terkait kewenangan mahkamah adat dalam menyelesaiakan kasus mesum perlu dipikirkan ulang apakah pantas diselesaikan melalui mahkamah adat atau tidak? Kalau misalnya memang sudah patut diselesaikan oleh mahkamah adat, maka ukuran mesum yang bagaimana yang boleh? Sebab apabila tidak jelas ukurannya, maka mahkamah adat akan menganggap seluruh kasus mesum (meskipun sudah masuk berat/perzinaan) tetap akan diselesaikan melalui mahkamah adat. Dapat kita bayangkan seperti apa Aceh ke depan, jika mesum ketegori berat/zina hanya dihukum dengan cara dinikahkan atau dikenakan denda adat berupa besih lante (denda dengan membayar sejumlah uang sebagai isyarat membersihkan kampung) di wilayah Aceh Tengah dan sekitarnya, atau hanya dengan denda seekor kambing untuk wilayah Aceh daratan.

Demi mengembalikan ruh syariat Islam yang kian memudar akhir-akhir ini di Aceh, saya menyarankan agar khusus kasus mesum yang selama ini diselesaikan melalui Mahkamah Adat agar dapat dikembalikan penyelesaiannya sesuai dengan Qanun No.14/2003 tentang Khalwat (Mesum) atau dengan qanun perubahan nantinya. Karena hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, dasar perundang-undangan dan lebih penting lagi ialah dasar pembentukan Aceh yang berlandaskan Islam yang selalu dibangga-banggakan selama ini. Jadi, sebaiknya, penyelesaian kasus mesum tetap melalui Mahkamah Syar’iyyah tidak melalui mahkamah adat (peradilan adat)

 

Tags: , , , , , ,