Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H

Oleh: Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H.

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, email: st_aceh@yahoo.co.id)

RABU malam (9/8/2017) lalu, saya diundang oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Pro 4 Frekuensi 88,2 MHz, untuk mengisi acara Pesona Budaya Nusantara. Tema acaranya menarik, “Fungsi Meunasah dalam Kehidupan Masyarakat Aceh”.

Undangan ini terkait dengan satu buku yang pernah saya tulis, Meunasah sebagai Universitas. Buku ini bagi saya sangat penting. Taktis dan strategis. Secara taktis, karena setiap gampong terdapat satu meunasah. Bahkan untuk gampong yang sangat luas, bisa memiliki satu meunasah tambahan –walau ini tidak cocok disebut sebagai meunasah. Satu gampong hanya satu meunasah untuk menegaskan satu kesatuan. Secara strategis, karena memungsikan meunasah akan sangat bermanfaat bagi masa depan, terutama generasi muda bangsa.

Berbagai masalah yang muncul di gampong, di kemudian hari akan menjadi beban bagi masyarakat di gampong tersebut. Ketika masalah tidak mampu diselesaikan, ia akan terus membesar dan pada akhirnya menjadi petaka sosial. Pada taraf ini, ia sudah menjadi bencana sosial yang akan menganggu keseimbangan warga dalam suatu gampong.

Istilah bencana sosial untuk membedakan dari bencana alam. Setelah keluarnya UU Penanggulangan Bencana, diperkenalkan bahwa selain bencana alam yang terjadi dari bencana-bencana dari alam, seperti gempa, banjir, longsor dan sebagainya. Bencana sosial disebabkan oleh perilaku manusia, dalam wujud masalah sosial, konflik, huru hara, dan semacamnya. Potensi inilah yang berkemungkinan menjadi masalah masa depan ketika berbagai masalah dalam gampong tidak diselesaikan dengan baik.

Fungsi meunasah
Meunasah tidak sesederhana sebagaimana hanya menggambarkan keberadaan mushala di tempat lain. Banyak orang salah mengira, seolah meunasah hanya untuk tempat shalat lima waktu. Padahal meunasah memiliki fungsi yang kompleks.

Selain shalat lima waktu, meunasah juga digunakan sebagai sentral tempat sosialisasi batasan berperilaku di gampong. Melalui meunasah, warga satu gampong saling mengenal. Maka ketika ada warga yang tidak dikenal oleh warga lainnya dalam satu gampong, untuk menjadi pertanda ada masalah di gampong yang bersangkutan.

Fungsi lain dari meunasah, adalah mendidik pendidikan agama anak-anak. Meunasah berbagi kapling dengan dayah. Bila usia anak-anak ditangani meunasah, maka usia remaja seorang anak akan meudagang -sebagai konsep menuntut ilmu-di dayah, yang umumnya tidak di gampongnya sendiri.

Satu hal yang sangat penting bahwa meunasah menjadi tempat menyelesaikan problema di gampong. Dari pendidikan sampai agama, dari kemiskinan sampai kreativitas pemuda, semua dikontrol melalui aktivitas-aktivitas meunasah. Bisa dibayangkan ketika aktivitas itu timpang dan tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka implikasinya sangat luas. Orang Aceh harus berpikir bahwa ketika meunasah tidak lagi digerakkan untuk mempersiapkan anak-anak mengaji –sebagai fondasi akidahnya– maka tidak usah menunggu lama untuk menunggu implikasi sosial yang akan muncul di kemudian hari.

Dana gampong
Ada sejumlah pertanyaan melalui pesan singkat yang muncul malam itu. Satu pertanyaan yang saya ingat, terkait bagaimana dengan dana gampong. Ada masalah dalam penggunaan dana gampong. Pimpinan daerah hingga pimpinan negara harus serius melihat hal ini. Sejumlah kasus sudah mulai didalami penegak hukum. Selain itu, di sejumlah tempat, kelompok masyarakat ada yang sudah mengadukan pimpinan gampongnya ke penegak hukum atas dasar dugaan penyelewenangan.

Berita-berita di sejumlah tempat menunjukkan sudah banyak muncul gesekan dalam pengelolaan dana yang dianggarkan pemerintah pusat tersebut. Jangan lupa bahwa pimpinan gampong adalah bagian jenjang terendah dari strata pemerintah(an). Sehingga mereka yang tidak sadar, harus ada yang membisikkan posisi ini ke mereka. karena selama ini ada anggapan ketika keuchik dan tuha peut mengeluh kepada pemerintah yang di atasnya, seolah-olah mereka bukan bagian dari pemerintah.

Saya pernah menulis di surat kabar ini mengenai bagaimana potensi penggunaan dana dari dana desa yang besarnya luar biasa itu. Penggunaan dana yang tepat didukung oleh manajemen dan kualitas sumber daya manusia yang tepat pula. Dana yang besar, jika tidak didukung oleh kualitas SDM untuk melaporkan penggunaan dananya, maka bisa muncul berbagai pertanyaan. Apakah selama ini pemerintah di atasnya sudah mendampingi SDM gampong dalam penggunaan anggaran dengan tepat?

Sekiranya penyiapan SDM sudah dilakukan, masalah lain yang bisa muncul adalah adakah selama ini intervensi pemerintah atasan dalam penggunaan dana gampong? Mudah-mudahan tidak ada tekanan tertentu dalam penggunaan dana gampong, misalnya kepentingan yang sesungguhnya tidak terkait dengan penggunaan anggaran gampong, namun diarahkan untuk ditangani dengan dana gampong?

Pada level terakhir, oknum-oknum aparat gampong yang memang “makan” dana gampong. Godaan ketika mengelola uang banyak, lalu menggunakan untuk kepentingan pribadi dengan cara menilep. Untuk yang terakhir ini, biar mereka yang makan cabe saja yang merasakan pedasnya.

Bencana sosial
Saya ingin fokus soal SDM dan tekanan. Sekiranya muncul masalah bukan karena kesalahan pihak gampong sendiri, maka itu harus dipertanyakan. Tokoh-tokoh politik lokal seyogianya menjaga tokoh gampong sebagai aset yang menyelesaikan banyak masalah yang terjadi di gampong. Ketika muncul ketidakpercayaan terhadap tokoh-tokoh gampong, implikasinya sangat luas. Kepada siapa lagi orang-orang di gampong akan mengadu ketika ada masalah, sedangkan tokoh-tokohnya sudah berlumur noda?

Masalah-masalah di gampong ketika tidak tertangani dengan baik, ia akan menjadi masalah yang besar. Pada taraf ini, sewaktu-waktu kumpulan masalah akan membesar dan meledak. Inilah yang saya sebut sebagai ancaman bencana sosial. Jika masalah di gampong semuanya selesai dengan kelihaian para tokoh-tokohnya, maka dapat dipastikan sebagian besar masalah daerah selesai.

Apa yang ditangani di daerah, pada dasarnya bermuara dari masalah yang muncul di tingkat bawah. Coba bayangkan ketika lebih 6.000 meunasah berfungsi dan didayagunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah di tingkat bawah itu, bagi saya implikasinya dahsyat sekali. Ini harus dipikirkan oleh pimpinan baru Aceh.

(Sumber: Harian Serambi Indonesia, 26 Agustus 2017)

 

Tags: