Peumat Jaroe, Tanda Para Pihak Telah Berdamai

Oleh:

Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh)

 

Peradilan Adat di Aceh adalah satu kearifan yang masih dipertahankan hingga kini oleh masyarakat. Bahkan, keberadaan Peradilan Adat di Aceh juga didukung dengan diakui dalam  Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat, Qanun Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Semenjak tahun 2013, Surat Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Ka.Polda Aceh, dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat telah ditingkatkan statusnya menjadi Peraturan Gubernur  Nomor 60 tahun 2013 tentang Pelakasanaan Penyelesaian Sengketa /Perselisihan dan Adat Istiadat. Saat ini di Aceh, selain menjalankan peradilan di bahwah lingkungan Mahkamah Agung (lingkungan peradilan umum, lingkup peradilan agama; Mahkamah Syar’iyah, dan lingkup peradilan militer lingkup, dan peradilan tatausaha negara), juga menjalankan peradilan adat. Saya berkeyakinan bahwa, sudah banyak di antara kita telah faham mengenai peradilan di bawah lingkup mahkamah agung tersebut. Namun, bagaimanakah sebernarnya peradilan yang berada dalam lingkup peradilan adat, kemungkinan secara detil tidak banyak dari kita yang memahaminya. Karenanya, tulisan ini bermaksud menerangkan sedikit tentang memahami peradilan adat di Aceh tersebut.

Secara strukturnya, peradilan adat dibagi kepada dua jenis, iaitu peradilan adat gampong bersama peradilan adat mukim, dan kedua, peradilan adat laot berserta peradilan adat laot kabupaten/kota.

Peradilan Adat Gampong dan Mukim

Pengadilan adat gampong berada pada setiap kampung di Aceh. Karena Provinsi Aceh memiliki  6.423 kampung dan 755 Mukim (data BPS Aceh tahun 2011), dengan demikian di Aceh terdapat juga 6.423 Pengadilan Adat Gampong dan755 Pengadilan Adat Mukim. Pengadilan adat gampong biasanya bertempat di meunasah-meunasah, rumah keuchik, balai desa, balai ketua pemuda kampung. Dalam kasus-kasus tertentu penyelesaian sengketa tidak memerlukan tempat khusus, karena dapat diselesaikan secara langsung (spontan) ditempat kejadian perkara.

Dalam penyelesaian sengketa, peradilan adat gampong memiliki perangkat persidangan yang terdiri dari : keuchik sebagai ketua majelis hakim, sekretaris gampong sebagai panitera, tuha puet gampong, imuem meunasah dan cendekiawan lainnya yang dianggap cakap/bijak sebagai anggota/penasihat. Untuk sengketa-sengeta khusus seperti sengketa pengairan di sawah, sengketa perkebunan. Maka majelis sidang juga melibatkan keujruen blang (sawah) dan peutua seunubok (perkebunan).  Keputusan majelis hakim adat sedapat mungkin mencari jalan tengah (damai). Sebelum ketua majelis (keuchik) membacakan keputusan sidang maka terlebih dahulu keuchik  bersama anggota/penasihat tadi duduk bermusyawarah.

Selain itu, keputusan yang di ambil juga dengan memperhatikan hadih maja (petatah-petitih) peninggalan nenek moyang tempo dulu. Misalnya hadih maja: saboh pisang koh dua (satu pisang dipotong dua). Artinya keputusan yang diambil setelah dijumlahkan kerugian secara keseluruhannya dibagi dua, kedua belah pihak menanggung jumlah yang sama. Ulue beu matee, ranteng bek patah (ular harus mati, ranting kayu pemukul tidak boleh patah). Maksudnya suatu kasus yang diselesaikan harus tuntas, tetapi para pihak tidak kecewa atau muncul dendam baru akibat keputusan itu.  Hadih maja lain misalnya, meunyo tahue panyang, nye talingkang panuek (kalau ditarik akan panjang, kalau dilingkar menjadi pendek). Artinya, apabila sengketa  itu dicari-cari kesalahan lawannya, maka sengketa tersebut akan bertambah panjang permasalahannya dan sukar diselesaikan. Sebaliknya kalau sama-sama mundur selangkah, maka sengketa yang panjang akan menjadi pendek, malah bisa hilang tanpa bekas. Seperti kata maja juga: nyang rayeuk tapue ubuet, nyang ubuet ta pue gadoh (yang besar dikecilkan, yang kecil dihilangkan). Dalam arti kedua belah pihak setelah sengketanya diselesaikan secara adat mereka justeru menjadi saudara.

Pada akhir sidang pertikaian, biasanya para pihak akan bersalaman. Hal ini menandakan telah terjadi saling memaafkan (perdamaian). Meskipun cenderung pada perdamaian, jangan salah bahwa hakim adat (keuchik) dapat saja mengenakan denda bagi tersalah. Seperti denda uang besih lente (bersih lantai) dalam masyarakat dataran tinggi gayo untuk pelaku mesum. Denda ini dimaksudkan sebagai uang membersihkan kampung mereka yang dicemari oleh pelaku mesum tersebut. Bahkan selain denda, pelaku juga dikenakan hukuman di buang dari kampung halaman mereka. Sementara dalam masyarakat pesisir, pelaku mesum biasanya  dikenakan denda  pemotongan seekor kambing saja. Ada juga, hukumannya yang dikahwinkan dan dikenakan kewajipan potong kambing. Upacara potong kambing tidak hanya melulu pada kasus mesum, sengketa-sengketa lainnya yang berujung pada perdamaian juga sering dilakukan potong kambing. Hal ini sebagai penanda (kesaksian) khalayak bahwa para pihak telah berdamai.

Dalam hal keputusan majelis hakim adat gampong tidak dapat diterima para pihak, maka dapat diajukan banding kepada pengadilan adat mukim. Keputusan Imuem Mukim (ketua majelis) setelah bermusyawarah dengan perangkat adat mukim (tuha lapan, imuem chiek, cendekiawan) adalah bersifat final dan mengikat para pihak. Tidak ada upaya hukum adat lain setelahnya. Namun demikian, dalam kenyataannya tetap masih ada pihak-pihak yang membawa kembali kasus mereka kepada polisi. Ada polisi yang menerima kembali untuk meneruskan kasus itu lantaran aduan masyarakat tidak dapat ditolak, ada juga yang mengembalikannya kepada gampong/mukim karena mereka telah mengetahui kasus ditingkat gampong/mukim yang telah diselesaikan tunduk kepada keputusan Keuchik/Imeum Mukim.

Peradilan Adat Laot

Peradilan adat laot terdiri dari dua jenis yakni, peradilan adat laot lhok dan peradilan adat laot kabupaten/kota. Jumlah pengadilan adat laot lhok sebanyak 163 buah, sedangkan pengadilan adat laot kabupaten/kota berjumlah 18 buah. Jumlah ini didasarkan kepada jumlah wilayah lhok dan jumlah kabupaten/kota yang berhampiran dengan laot di Aceh (data Panglima Laot Aceh tahun 2010).  Peradilan adat laot diperuntukkan bagi nelayan yang tengah mencari ikan di laut.

Pengadilan adat laot baru dapat di gelar apabila telah terjadi persengketaan antar nelayan di laut. Sekali lagi, hanya sengketa nelayan yang terjadi dilaut, artinya jika nelayan bersengketa di darat, maka itu menjadi ranah peradilan adat gampong/mukim. Sebagai contoh, sengketa perebutan ikan antara satu perahu nelayan dengan nelayan lainnya, sengketa pemasangan/pemotongan rumpon/tuasan, sengketa pupok (tabrak) boat, pelanggaran melaut pada hari pantangan melaut yakni meliputi: setiap hari Jum’at, setiap tanggal 17 Agustus, hari kenduri laut, hari raya idul fitri dan idul adha, setiap tanggal 26 Desember sebagai hari peringatan tsunami.  Jika terdapat nelayan yang melanggar aturan tersebut, maka dalam hal ini panglima laot yang bertindak sebagai ketua hakim peradilan adat laot menyidangkan pelaku di Balai Nelayan di masing-masing lhok.

Biasanya persidangan akan digelar pada hari Jum’at, mengingat pada hari itu nelayan tidak melaut sehingga memudahkan majelis dalam memanggil saksi-saksi. Adapun majelis persidangan pengadilan adat laot lhok terdiri dari : panglima laot lhok bertindak sebagai ketua majelis hakim, wakil ketua panglima laot, staf panglima laot, sekretaris, dan tokoh adat, serta biasanya juga dihadiri oleh unsur pemerintah dalam hal ini kepala dinas perikanan setempat atau yang mewakili sebagai anggota.

Hakim pengadilan adat laot lhok berwenang menjatuhkan sanksi berupa bagi hasil untuk sengketa perebutan ikan, ganti rugi untuk kasus pupok boat/pemotongan rumpon, penyitaan hasil tangkapan disertai larangan melaut antara 3 hingga 7 hari untuk nelayan yang menangkap ikan pada hari pantangan melaut. Keputusan pengadilan adat laot lhok baru dapat dikatakan final apabila para pihak menerima putusan tersebut. Namun adakalanya pengadilan adat laot lhok tidak dapat memutuskan karena sangat pelik kasusnya. Dalam kasus ini, mereka dapat meminta penyelesaian  kepada pengadilan adat laot kabupaten/kota.

Sekalipun diselesaikan oleh pengadilan adat laot kabupaten/kota, namun penyelesaian tersebut bukanlah upaya banding karena dalam pengadilan adat laot tidak mengenal upaya banding. Hal ini berbeda dengan pengadilan adat gampong. Selain itu, pengadilan adat laot kabupaten/kota juga berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi antara 2 atau lebih lhok. Apabila keputusan telah diambil oleh panglima laot kabupaten/kota (dalam hal ini ia bertindak sebagai ketua majelis hakim), maka keputusan tersebut sudah bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya adat lain yang dikenal, misalnya mau di bawa kepada panglima laot Aceh. sebab, panglima laot Aceh tidak berwenang menyelesaikan sengketa adat. Panglima laot Aceh, semenjak dibentuk pada tahun 2001 bertugas sebagai badan koordinasi para panglima laot seluruh Aceh, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi apabila ada nelayan yang terdampar ke Luar Negara. Bukan sebagai lembaga penyelesai sengketa.

Ditinjau dari sudut perundangan, keberadaan peradilan adat di Aceh sudah semakin kuat. Hanya saja yang perlu terus diingatkan bahwa untuk kasus-kasus tertentu seperti mesum dalam kategori perzianaan sebaiknya tidak lagi diselesaikan secara adat, akan tetapi langsung saja  dilanjutkan kepada Mahkamah Syar’iyah. Karena kalau itu dibiarkan diselesaikan secara adat, maka kemungkinan yang pertama, pelaku tidak merasa jera sebab sanksinya yang ringan. Kedua, apabila buah dari mesum/zina itu lahir kedunia, maka tidak bisa dibayangkan bagaimana kehidupan anak-anak Aceh 10 tahun ke depan. Dan ke tiga, tentu kita akan merasa ikut bersalah secara agama sekaligus secara historis, sebab bumi Aceh telah diletakkan atas dasar Syariat Islam sejak dahulu oleh para endatu kita. Semoga bermanfaat. Wallahu’alam.

 

Tags: , ,