Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H

Oleh: Dr. Sulaiman, S.H., M.H.

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Email: st_aceh@yahoo.co.id)

 

GAMPONG di Aceh akan menerima dana bervariasi. Dana sebagai implikasi dari lahirnya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, diperkirakan gampong di Aceh akan mendapatkan dana antara Rp 254 juta hingga Rp 1,1 miliar (Serambi, 25/2/2015). Angka ini dihitung dari 90% pagu dana desa pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 dibagi kepada 74.093 desa di Indonesia.

Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, dana tersebut dibagi rata (Serambi, 25/2/2015). Padahal tidak demikian, karena 74.093 desa tidak menerima jumlah dana yang sama besarnya. Akan tetapi setiap desa menerima dana sesuai dengan jumlah penduduk dan luas wilayah. Dengan rumus demikianlah, maka variasi angka untuk gampong di Aceh muncul antara Rp 254 juta hingga Rp 1,1 miliar.

Khusus konteks Aceh, masalah terbesar yang harus dipikirkan adalah bagaimana dengan mukim? Merujuk pada UU Pemerintahan Aceh, Mukim adalah salah satu tingkatan wilayah dan pemerintahan di Aceh. Lantas apakah mukim juga akan menerima sejumlah dana yang akan dipergunakan bagi pembangunan pada tingkat mukim? Seandainya demikian, akan mengambil dana dari mana?

Pertanyaan-pertanyaan demikian selalu muncul dalam beberapa pertemuan yang saya ikuti. Dalam beberapa kesempatan menjadi narasumber diskusi yang juga menghadirkan pejabat, posisi mukim terkait dengan anggaran, juga masih kabur dan hampir tiada solusi.

Maka tidak salah, bila kemudian muncul dugaan bahwa jangan-jangan mukim memang sudah tidak diharapkan. Pada saat yang sama, gampong mendapatkan dana secara berlapis: Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara mukim tidak demikian.

Semakin terasa
Ada tiga pertemuan saya dengan keuchik dan mukim: Pertama, sebuah pertemuan dengan para Imuem Mukim dan Keuchik dalam satu forum yang sebenarnya membahas mengenai implikasi UU Desa. Namun dalam diskusi, berkembang tidak terbatas pada UU tersebut, namun berbagai hal lain yang terkait. Sejak akhir 2014, persoalan dana yang berkembang dengan istilah “dana Rp 1 miliar”, semakin menarik dibicarakan. Kontestasi pimpinan gampong pun semakin terasa. Sementara hal yang menjadi kekuatan dan modal sosial gampong, sudah jarang dibahas.

Kedua, pertemuan dengan para imuem mukim dan keusyik yang membahas tata batas dan tata kelola sumberdaya alam. Mukim dan keusyik ternyata sangat sadar bahwa ada kekayaan dan sumber daya pada tingkat gampong dan mukim yang bisa dikelola. Secara kritis, usaha untuk mempersiapkan landasan hukum operasional bagi tata kelola ini masih terbatas.

Ketiga, ketika ikut serta dalam suatu penelitian lapangan mengenai peradilan pidana adat, saya juga berkesempatan berdiskusi dengan sejumlah keusyik dan mukim. Mereka menyadari betul bahwa kekuatan terpenting pada tingkat gampong dan mukim adalah kebersamaan dan kegotong-royongan. Keusyik dan mukim sangat menyadari bahwa salah satu kekuatan yang bisa merusak nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan, dan semacamnya, adalah ketika uang dianggap segala-galanya.

Dari ketiga pertemuan tersebut, di satu pihak mengingatkan saya atas pertanyaan terkait dengan seberapa besarkah persiapan kita mengantisipasi pudarnya modal sosial akibat dana tersebut. Di pihak lain, seberapa besar pula kita memikirkan untuk menyelamatkan mukim.

Adanya mukim sangat penting di Aceh. Berkaca dari perjalanan sejarah, mukim memiliki posisi eksklusif. Dalam Qanun Syara’ Teungku di Mulek di era Sultan Alauddin Mansur Syah (mulai memerintah 1257), mukim adalah persekutuan gampong. Posisi ini ditata kembali saat Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah berkuasa sekitar 1507 (Abdullah Sani, 2005; Sanusi Syaref, 2005; Taqwaddin, 2009). Era Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Mukim semakin diperkuat sebagaimana dalam Qanun al-Asyi (Rusdi Sufi, 1997).

Posisi eksklusif terlihat, terutama terkait kebutuhan jumlah jamaah shalat Jumat sebanyak 40 orang dewasa (Zainuddin, 1971; Snouck Hurgronje, 1985). Hal lain yang cukup penting adalah beratnya syarat untuk menjadi imuem mukim, selain sebagai pimpinan pemerintahan, mukim harus mampu menjadi pimpinan keagamaan.

Posisi tersebut masih utuh setidaknya hingga keluar Peraturan Keresidenan Aceh No.2 Tahun 1946 yang memberlakukan Pemerintahan Mukim di seluruh Aceh. Sedikit berbeda, apabila sebelum merdeka Mukim di bawah ulee balang. Setelah merdeka, mukim berada di bawah camat (Amin, 1978).

Era kelam mukim muncul setelah sewindu Orde Baru berkuasa. UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah membatasi strata pemerintahan di Indonesia. Di samping itu, UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, membuat strata pemerintahan terbawah di Indonesia menjadi seragam.

Kembali diakui
Setelah reformasi, UU Pemerintahan Daerah berganti, peta pemerintahan juga berubah. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, mukim kembali diakui. Termasuk lahirnya UU Otonomi Khusus No.18 Tahun 2001. Untuk melaksanakan UU terakhir itulah, lahir Qanun No.4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, yang mengakui tidak saja mukim sebagai lembaga adat, melainkan juga sebagai lembaga pemerintahan.

Tahun 2000, perubahan penting terjadi di Indonesia. Amandemen kedua UUD 1945 mengakomodir Pasal 18 B, di mana negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, dengan syarat: sepanjang masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam UU.

Lahir UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai bagian penyelesaian konflik, memperkuat mukim di Aceh. Dari UU ini kemudian lahir beberapa qanun, yakni Qanun Aceh No.9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat, Qanun Aceh No.10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, dan Qanun Aceh No.3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan Imeum Mukim.

Perkembangan ini memperlihatkan posisi mukim sebagai sesuatu yang penting di Aceh. Ia tetap eksis di tengah penyeragaman corak kekuasaan. Ironisnya kembang-kempis setelah hadirnya era terbuka.

Kini, setelah UU Desa merealisasikan dana desa, mukim tidak terasa dalam hiruk-pikuk ini. Sejumlah pertanyaan juga tidak mungkin dihindari, antara lain bagaimana mengalokasikan anggaran untuk mukim, sementara pembagian kewenangan antara gampong dan mukim belum dilakukan secara sempurna?

Pertanyaan lain adalah pembangunan apa yang akan dikelola mukim? Bukankah semua hal sudah dan bisa dilaksanakan gampong? Pertanyaan semacam ini sulit dijawab. Apalagi dengan semangat yang muncul adalah “pengabaian” mukim. Pada titik ini, mungkin senjakala mukim telah tiba dan kebesaran sejarah mukim mungkin akan berakhir.

(Harian Serambi Indonesia, 24 Juni 2016).

 

Tags: , , ,