Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.

(Direktur Geuthèë Institute, Aceh)

 

EMPAT (4) April 2012 ketika saya kembali ke Kuala Lumpur setelah berada di Aceh hampir sepuluh hari mengikuti acara keluarga. Saya dijemput oleh beberapa teman dan istri saya di Aiport LCCT, Kuala Lumpur.  Rasyid, salah seorang teman penjemput saya perhatikan seperti tengah gelisah, saya menyangka apakah karena lama menunggu kedatangan saya dari jadwal siang hari, namun pesawat mengalami delay dan  baru landing  pada pukul 8 malam.  Setelah saya tanyakan, Rasyid menjawab, “mobil kita di ‘saman’ Bang”.

‘Saman’ bagi masyarakat Aceh adalah ‘tarian saman’ yang kini diakui oleh Badan PBB Urusan Pendidikan, Sains dan Kebudayaan (UNESCO) secara resmi  pada November 2011 sebagai salah satu warisan budaya dunia. Sementara ‘saman’ yang dimaksudkan Rasyid ternyata denda yang dikenakan pada kenderaan bermotor yang melanggar lintas yang berlaku di Malaysia.

Pelanggaran yang dilakukan adalah memarkirkan  mobil  bukan pada area parkir resmi tetapi masih dalam kawasan Bandar udara LCCT. Namun cerita teman saya, sebelum hari itu ia pernah parkir di sana, dan tidak apa-apa. Kali ini bisa dikatakan hari naas bagi kami, kertas tilang telah terletak di depan kaca mobil ketika kami tiba di sana.

Cara tilang polisi di Malaysia yang sempat saya perhatikan diseputara Kuala Lumpur malah bukan hanya kertas tilangnya saja yang dilekatkan, tetapi ban mobil atau sepeda motor bagian depan ikut di ‘pasung’ dengan kunci besi besar. Kedanraan yang kena ‘pasung’ tidak akan dibuka ‘pasung’nya sebelum membayarkan ‘saman’.

Kembali ke kisa ‘saman’ mobil di LCCT, ke esokan harinya saya dengan Rasyid pergi ke kantor polisi bagian trafik (lalu lintas) Kajang. Dari lembaran surat tilang yang ada, pembayaran denda tidak boleh melebihi 7 hari kerja dan dapat dibayarkan di mana saja kantor polisi lalu lintas terdekat.

Tiba di kantor polisi, kami langsung diarahkan untuk mengambil tiket antrian seperti di bank, ada beberapa loket di sana, tetapi loket bagian pembayaran ‘saman’ berada di sebelah kanan pintu masuk.

Beberapa menit kemudian nomor giliran  kami dipanggil. Rasyid dan Saya menuju ke kasir, selanjutnya menunjukkan surat tilang kepada seorang petugas (perempuan).

Setelah di cek kebenarannya, saya agak sedikit terkejut karena biaya yang harus kami bayarkan ialah sejumlah RM 150 ringgit atau sekitar Rp. 450 ribu. Mungkin  kalau di Indonesia hanya sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu saja. Saya mencoba bernegosiasi, karena uang yang tersedia tidak mencukupi. Kemudian Rasyid dan Saya menunjukkan kartu mahasiswa untuk meyakinkan petugas bahwa kami tidak memiliki cukup uang sebagaimana dimintakan.

Petugas tersebut mengatakan “kalau pelanggaran di airport memang sudah otomatis sejumlah itu”. Namun pada akhirnya petugas tersebut melunak dan nasib baik berpihak kepada kami. Ia memberikan keringanan pembayaran kepada kami hingga 50 ringgit. Jadi kami hanya perlu membayar kepada petugas sejumlah 100 ringgit. Tanda terima sebagai bukti pembayaranpun segera kami dapatkan dengan cap dan stempel resmi polisi diraja Malaysia.

Boleh jadi apa yang kami alami tersebut juga telah dialami oleh mahasiswa Aceh atau masyarakat Aceh lainnya di Malaysia dan mungkin saja tawar menawar pembayaran ‘saman’ demikian juga berlangsung dengan mereka.  Meski demikian, saya yakin,  bahwa  kwitansi yang diberikan kepada kami itu resmi, seberapapun uang yang sudah mereka terima pasti masuk ke rekening kerajaan Malaysia. Nah ini yang bisa berbeda di tempat kita.

Ditempat kita, ‘saman’ atau denda bagi pelanggaran lalu lintas sering memuncul stigma negatif. Seperti kata ‘damai’, ‘ damee-damee mantong lah Pak’. Padahal kata ‘damai’ sendiri sesungguhnya adalah kata yang bagus karena sering digunakan untuk mewujudkan suatu ketentraman ditengah-tengah masyarakat. Tetapi ‘damai’ dengan polisi bermakna pelanggar terutama sepeda motor  (bukan mobil)  tidak jadi di tilang karena pelanggar telah memberikan sejumlah uang  kepada petugas sebelum surat tilang diberikan. Akhirnya tau sama tau dan selanjutnya mau sama mau.

Namun dewasa ini, pembenahan ‘damai’ di jalan raya sudah banyak ditinggalkan. Banyak kendaraan bermotor yang kena tilang harus membayar denda ke bank sendiri setelah diputuskan oleh pengadilan. Surat-surat kendaraan yang disita oleh polisi juga baru dapat diambil kembali setelah adanya pembayaran denda melalui bank.  Wallahua’lam.

 

Tags: