Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.

Oleh: Dr. Teuku Muttaqin Mansur, M.H.

(Direktur Geuthee Institute)

 

Banyak pendapat muncul terkait makna filosofis dari hadih maja Aceh:

ADAT BAK POTEUMEUREUHOM

HUKOM BAK SYIAH KUALA

KANUN BAK PUTROE PHANG

REUSAM BAK LAKSAMANA.

Namun, makna resmi pernah disepakati oleh para Pemangku Adat di Aceh yang dituangkan dalam keputusan Rapat Kerja Lembaga Adat Kebudayaan Aceh (LAKA, sekarang berganti nama menjadi Majelis Adat Aceh, MAA) di Banda Aceh pada 8-11 Oktober 1990.

Keputusan tersebut menyebutkan, hadih maja mengandung 3 (tiga) makna, yaitu:

  1. Mengandung makna simbolis: sebagai Politik Pemerintahan- perlambang pembagian kekuasaan (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, serta lambang kearifan dan kebijaksanaan).
  2. Mengandung makna dalam nama-nama yang tersebut dalam hadih maja, yaitu:
    • Poteumeureuhom, bermakna pemegang kekuasaan Eksekutif dan kebesaran tanah Aceh.
    • Syiah Kuala, bermakna ulama sebagai pemegang yudikatif.
    • Putroe Phang, bermakna cendekiawan-Legislatif.
    • Laksamana, bermakna keperkasaan dan kearifan dalam keragaman adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat.
  3. Mengandung makna produk adat yang terdiri dari 4 macam:
  • Adat Mahkota (Adat Meukuta Alam), adalah produk adat yang berlaku umum untuk seluruh masyarakat Aceh yang telah melalui proses inventarisasi adat reusam, penentuan peraturan pelaksanaan (Kanun).
  • Adat Tunah, produk adat yang telah ditentukan hukum Islam yang menjiwainya.
  • Adat Mahkamah, produk hukum yang diatur ketentuan pelaksanaannya (Kanun).
  • Adat Reusam, produk adat yang berupa berbagai keragaman adat yang terdapat dan berlaku di daerah setempat di seluruh Aceh.

Dewasa ini, meskipun alam pikir manusia berubah ke arah pemikiran Barat seiring dengan perubahan zaman, namun hadih maja di atas tetap tertancap dalam sanubari dan masih dijadikan sebagai pedoman serta pandangan hidup  masyarakat Aceh. Wallahu’alam.

 

Tags: