Oleh: Khalil Armi dan Munira
(Mahasiswa Strata Satu Program Kelas Internasional Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)
Kabupaten Pidie Provinsi Aceh memiliki ragam kekayaan budaya dan adat istiadat terutama adat istiada dalam pelaksanaan pernikahan. Dalam masyarakat Kabupaten Pidie di yakini bahwa pernikahan adalah ritual yang sakral, karenanya masyarakat yang melangsungkan pernikahan sedapat mungkin mengikuti dan melaksanakan proses tersebut. Biasanya proses pernikahan di mulai dengan pra pernikahan (adat peminanangan), upacara pernikahan, hamil, hingga pasca melahirkan.
Dalam kesempatan ini akan diuraikan terlebih dahulu adat peminangan dalam masyarakat di Kabupaten Pidie.
Peminangan bermakna pernyataan permintaan atau ajakan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayainya yang dalam masyarakat Aceh disebut seulangkee. Menurut Teuku Muttaqin Mansur (2018) seulangke atau yang sering diartikan sebagai perantara atau utusan merupakan seorang yang memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan cita-cita calon pasangan baru melangsungkan pernikahan/perkawinan. Seulangkee (perantara) dapat dikatakan orang yang dapat beperan sebagai ‘mata-mata’, mediator, negosiator, dan dalam keadaan tertentu menjadi pengganti kedudukan para pihak. Oleh karena itu, seulangkee yang ditunjuk harus mempunyai kualifikasi orang-tidak mesti tua (umur) yang penting bijaksana, berwibawa, berpengaruh dan alim serta mengetahui seluk beluk adat perkawinan, begitu pula dengan adat peminangan.
Ada hadih maja Aceh yang lazim dalam masyarakat Aceh yang merefleksikan pandangan dan filosofi mereka dalam menghormati adat, “meunyo hana ta lakee ngoen buleukat, meu u rambat bek taba aneuk kamoe”. Ungkapan ini bermakna bila belum diresmikan dengan upacara adat, adalah pantang dan dianggap aib bila seorang laki laki datang berkunjung ke rumah tunangannya, apalagi untuk pergi bersama-sama. Hal ini bersesuaian dengan hukum Islam yang memandang tidak layak bagi laki-laki dan perempuan untuk pergi bersama-sama apabila belum terikat dalam pernikahan. Walau pun peminangan yang dilanjutkan pertunangan juga melalui upacara adat, hal tersebut dianggap belum cukup kuat sampai pernikahan benar-benar dilangsungkan. Namun demikian, peminangan juga memiliki implikasi moral yang mengikat kedua belah pihak. Mereka yang telah mengajukan atau menerima pinangan tidak boleh menerima pinangan dari orang lain.
Dalam masyarakat di Kabupaten Pidie, pada umumnya cara dalam menentukan atau memilih jodoh yang berkembang sekarang ini, ada dua cara, (Nida Desianti, 2015), yakni:
Pertama, orang tua memilihkan seorang wanita yang nantinya akan dimintai persetujuan anak laki-lakinya;
Kedua, anak laki-laki memilih sendiri calon pengantinnya dan meminta pertimbangan kepada orangtuanya.
Cara pertama memang sudah agak jarang terjadi, namun masih dapat kita temukan pada masyarakat yang hidup dengan memegang nilai-nilai tradisional dan belum terpengaruh kehidupan masyarakat urban. Namun, pada cara pertama, restu orang tua sudah pasti didapat karena calonnya diajukan oleh orangtua si laki-laki. Sekarang ini, cara kedua jauh lebih berkembang dalam masyarakat. Menurut pola pemikiran masyarakat Aceh, pemilihan jodoh ini adalah kegiatan-kegiatan dari pihak laki-laki. Dengan kata lain, inisiatif pemilihan jodoh boleh dikatakan tak pernah datang dari pihak perempuan. Andaikata terjadi juga mesti dilakukan dengan cara sangat rahasia, misalnya dengan perantaraan pihak ketiga yang dipercaya dan dapat menyimpan rahasia, sebab kalau hal ini diketahui umum pasti menimbulkan ocehan-ocehan yang memalukan (Nida Desianti, 2015). Dari uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa sangat jarang pemilihan jodoh diawali atau dilakukan oleh pihak perempuan sehingga perannya sangat pasif.
Dalam praktek peminangan di Kabupaten Pidie, ada beberapa tahapan dalam melaksanakan peminangan, yakni:
- Duek Pakat keluarga laki-laki
Duek pakat atau dapat diartikan dengan musyawarah keluarga dilakukan di kediaman keluarga laki-laki dengan mengundang seluruh kawom (keluarga bersar se-keturunan) untuk mendiskusikan mengenai rencana peminangan. Keluarga laki-laki meminta pertimbangan dan persetujuan dari seluruh keluarganya mengenai wanita yang akan dipinangnya. Kemudian dalam duek pakat ini juga membahas rencana selanjutnya apabila keluarga merasa cocok dengan wanita yang akan dipinang. Misalnya menentukan seulangkee dan hal prosedural semacamnya.
- Seulangkee datang ke rumah keluarga wanita.
Tahap kedua adalah mengutus seorang seulangkee ke rumah wanita. Utusan bertugas menyampaikan maksud pihak lelaki meminang wanita di rumah tersebut. Biasanya, jawaban dari keluarga wanita tidak langsung diberikan pada waktu itu, keluarga wanita meminta waktu untuk melaksanakan musyawarah (duek pakat) untuk menentukan apakah akan menerima pinangan atau tidak. Umumnya, dalam waktu tiga hari seulangkee sudah diberitahukan jawaban dari keluarga wanita.
- Melamar ke rumah pihak wanita
Apabila lamaran diterima, maka proses peminangan pun berlanjut. Utusan dari pihak laki-laki yang terdiri dari keuchik (kepala desa), seulangkee, tuha peut, imum meunasah dan beberapa orang keluarga dekatnya yang dianggap penting, datang ke rumah si gadis untuk meminang. Di rumah tersebut biasanya keluarga pihak perempuan sudah menunggu bersama dengan keuchik dan tetua adat di gampong tersebut. Dalam proses ini, rombongan dari keluarga laki-laki membawa banyak hantaran berupa pakaian, kue dan perhiasan (biasanya emas) serta batee ranub (tempat sirih) sebagai tanda kong haba atau lambang kesepakatan dari kedua keluarga. Pada proses ini kedua belah pihak membicarakan rencana pernikahan, seperti tanggal pernikahan, besarnya mas kawin, waktu peresmian serta konsekuensi pembatalan peminangan ini
Sanksi pembatalan peminangan
Uniknya terdapat sanksi dalam pembatalan peminangan yang berbeda bagi kedua belah pihak. Misalnya laki-laki yang telah meminang seorang wanita kemudian merasa tidak cocok atau karena menemukan wanita lain yang ingin dipinang sehingga membatalkan peminangan, maka seluruh barang yang dihantarkan ke rumah pihak wanita menjadi hangus atau tidak dikembalikan lagi. Sedangkan apabila inisiatif pembatalan peminangan datang dari pihak wanita, maka seluruh barang bawaan harus diganti dua kali lipat. Wallahu’aklam.
Tags: Adat, kabupaten pidie, peminangan
memang sangat bagus masalah adat iatiadat di aceh… mudah mudahan jangan pudar dan hilang….
Semoga ya Pak Yusraddin. Kita harapkan demikian.