Oleh: Dr. Sulaiman Tripa, M.H

[https://kupiluho.wordpress.com/2018/07/15/doktor-dari-beuracan/]

 

Doktor Teuku Muttaqin Mansur, bagi saya sangat berbeda dengan sejumlah anak muda lain yang sejawat dengannya. Semangat menggebu tampak pada cita-cita untuk menyelesaikan jenjang pendidikan hingga doktoral. Suatu waktu kami saling bercerita, dan ini sangat serius serta tidak dibuat-buat. Katanya, untuk menyelesaikan sarjana saja, anak-anak kampung seperti kami ini sudah bersyukur, apalagi bisa sampai menyelesaikan hingga level tertinggi.

Ada satu permintaan yang tidak tertunaikan waktu ia masih mahasiswa sarjana Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Saya diundang untuk memberi materi bagi mahasiswa baru Jurusan Siyasah Fakultas Syariah. Acara ini menandai akhir dari proses pengenalan mahasiswa baru. Acara dilaksanakan di pinggir Banda Aceh. Kapasitas saya sebagai Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) diundang bersama Ketua Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat (SMUR), Kautsar (sekarang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dari Partai Aceh).

Waktu itu saya belum memiliki motor. Orang kampung saya yang kuliah di Fakultas Ekonomi dan tinggal di Krueng Sabe, sering meminjamkan motor Honda 800 untuk saya pakai hari-hari. Namun entah mengapa, hari itu ia sedang ada di Banda Aceh. Tidak ada alternatif lain, juga tidak tersedia alat komunikasi, selain saya memutuskan tidak menghadiri dan membatalkan secara sepihak. Dari adik saya yang juga kuliah di Fakultas Syariah waktu itu, diceritakan nama saya sudah terlanjur diceritakan menggebu-gebu bagi mahasiswa baru itu.

Saya tidak tahu persis mengapa saya yang dipilih untuk mengisi acara. Satu yang pasti, kami tinggal di tempat yang sama. Di sana kamis berdikusi tidak terbatas. Semua hal, mulai dari cerita kampung, hingga cerita orang-orang kampung. Mulai cerita bagaimana kepahitan orang-orang kampung secara politik dan ekonomi, hingga bagaimana gerakan mahasiswa yang kembang-kempis berhadapan dengan zaman yang tidak menentu.

Politik represif. Keamanan tidak stabil. Efeknya kemana-mana. Ruang-ruang kuliah tidak bisa berlangsung normal. Proses pendidikan tidak bisa berlangsung secara optimal. Satu hal serius yang kami turut gelisahkan dari kondisi daerah semacam ini adalah generasi yang berpendidikan mengalami keterancaman.

Saat masih konflik (tahun 2000-an), sekali waktu diundang ke rumahnya. Entah Anda bisa membayangkan bagaimana kondisi Beuracan waktu itu. Kalau dengan gampong saya jauh beda. Kecuali Pante Raja secara keseluruhan, kondisi konflik mungkin sedikit mirip Beuracan. Pante Raja memiliki akses “jalan lingkar”, dari sepanjang Beuracan, Puduek di Kecamatan Trienggading, lalu dari Pante Raja menuju Cubo hingga Jiem-Jiem Kecamatan Bandar Baru.

Kondisi konflik yang menyebabkan Teuku Multazam (alumni magister teknik Universitas Sepuluh November Surabaya, turut mengajar sejumlah mata kuliah pada program diploma Fakultas Teknik), adiknya Teuku Muttaqin, harus lebih cepat ke Banda Aceh, sebelum kuliah sarjana. Berbagai godaan dan hal-hal di luar nalar berlangsung di kampung. Saya bisa menangkap maksud bagaimana keluarga ini berusaha anaknya harus mencapai sarjana.

Saya ingat persis untuk sampai ke Beuracan, waktu itu, tidak peduli untuk kepentingan menghadiri hajatan khawuri atau kepentingan lain, tetap akan diperiksa menurut standar yang sama oleh pos polisi maupun pos tentara. Standar ini yang saya kira dirasakan hampir semua orang waktu itu. Tidak hanya saat masuk kampung, bahkan sepanjang jalan nasional, pemeriksaan tetap ada.

Saya punya tanggung jawab lebih waktu itu karena dipercayakan teman-teman untuk mengurus Asrama Mahasiswa Kabupaten Pidie di Banda Aceh, sebelum kabupaten ini pisah dengan Pidie Jaya. Pada saat yang sama, sejumlah jabatan lain dipercayakan. Koordinator Pos Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia Forum Komunikasi Generasi Muda Pidie (Fokusgampi), Ketua Umum MPM Unsyiah, dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum. Atas berbagai amanah itu, sewaktu-waktu dapat undangan entah acara apa, menjadi beban tersendiri jika tidak dihadiri.

Menghadiri undangan ke Beuracan, antara lain karena alasan “terpaksa” ini. Tetapi kami lakoni. Saya dan teman-teman dengan menyewa minibus, sering memenuhi undangan semacam ini. Bahkan ke lokasi-lokasi lain, seperti Tiro, Tangse dan Geumpang, yang ada teman kami dan mengundang saat ada hajatan, kami usahakan hadir.

Setelah sekian lama, saya pribadi baru merasakan betapa efek konflik turut menempa kita termasuk dalam hal kesetiaan kita terhadap orang-orang yang kita kenal. Pelajaran ini pula yang diberikan orang tua kami dulu, bahwa silaturrahmi itu memiliki implikasi dan semangat yang luar biasa dalam kehidupan manusia.

Saat di rumah Teuku Muttaqin, orang tuanya Teungku Teuku Mansur berbincang dengan anak muda seperti saya. Hingga sampai pertanyaan dimana kampung hingga anak siapa. Rupanya, abu saya, Teungku Umar Achmad, memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Komunikasi yang memungkinkan satu sama lain mengetahui informasi yang demikian.

Sesama orang tua yang saling bertemu dalam sejumlah kesempatan. Sewaktu saya kecil, sejumlah orang politik mengantar baju partai politik yang warna warni itu. Sekarang baru saya paham betapa tarikan untuk terjun ke politik terhadap orang-orang seperti orang tua saya ternyata kuat sekali. Baju-baju di lemari setelah abu saya meninggal, saya menemukan sebagai saksinya.

Sama seperti apa yang dilakoni Teuku Muttaqin, kami yang berasal dari kampung mengalami kendala yang sama. Mungkin Teungku Mansur Beuracan sudah lama berpesan terhadap anaknya, bahwa kewajiban mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Sementara untuk level selanjutnya, anak-anaknya yang harus berpikir sendiri.

Ampon Muttaqin ini sangat kreatif. Ia sadar dari awal bahwa pendidikan selepas sarjana tidak mungkin lagi berharap dari orang tua. Apalagi ayahnya meninggal dan menjadi korban tsunami, saat cita-cita magister hukum belum diselesaikan. Praktis ia berpikir sendiri untuk sekolah.

Pilihan sulit ia kembali ambil saat meneruskan pendidikan doktoral. Ia sudah diterima dan mendapat beasiswa pascasarjana di Universitas Brawijaya. Ia bahkan sudah melakoni pendidikan matrikulasi. Namun kondisi ibunya tidak memungkinkan ia berada terlalu jauh. Ia rembuk dengan sejumlah teman, termasuk saya dan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, akhirnya ia memilih jalan lain untuk kuliah di tempat yang lebih dekat. Pilihannya waktu itu adalah Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Di sanalah ia meraih doktor hukum.

Ketika kuliah doktoral itu, perjuangan tidak mudah. Ia berpikir untuk banyak orang di sekelilingnya. Tak hanya pendidikan sendiri, ia juga turut berpikir bagaimana kuliah sarjana dan magister adiknya, Teuku Multazam, selesai juga.

Dengan biaya pendidikan yang tidak sedikit, sebagian juga ia pikir sendiri. Ia mendapat bantuan pendidikan Aceh, namun rasanya tidak semua hal bisa dibiayai dengan jumlah dana yang terbatas. Sewaktu ia kuliah, berkali saya jalan-jalan ke Kuala Lumpur dan “numpang” istirahat di rumah sewanya. Saya bisa merasakan bagaimana pengorbanan dalam menekuni pendidikan.

Saya ingin berbagi hikmah, bahwa tidak mudah menemukan anak muda yang bisa berjuang secara paripurna semacam ini. Saat kondisi daerah tidak menentu, lalu orang tuanya menjadi korban tsunami, saat menempuh pendidikan lalu ibunya meninggal, terus membantu adiknya.

Saat duduk-duduk ngopi, satu hal yang paling membekas di batin saya. Katanya, “tidak ada harta yang paling berharga selain meraih semua kesuksesan pendidikan itu dengan jalan yang lurus”.

 

Tags: , , , ,