Teuku Muttaqin Mansur
(Dosen Fakultas Hukum Unsyiah)
“Mita anuek matee nang, bak tabela anuek matee droe”.
{Pawang Burhan, Nelayan Wilayah Lhok Kruen Raya)
“Mita anuek matee nang, bak tabela anuek matee droe”, ungkapan lirih penuh makna seketika keluar dari mulut Pawang Burhan, Nelayan Wilayah Lhok Kreung Raya, Aceh Besar. Bukan tanpa sebab, Pawang Burhan yang sudah menjadi pelaut semenjak usia belia harus bertaruh nyawa kala badai setinggi 7 meter menghantam boat yang dikemudikannya pada Selasa 25 Juni 2019 silam. Beruntung, ia masih selamat dan ditolong oleh Pawang Samsul (60 tahun) yang mengemudikan boat lain. Kebetulan boat pawang Samsul berada tidak jauh dari boat Burhan.
Burhan belia terpaksa berhenti sekolah di usianya yang masih 9 tahun pada tahun 1989 karena kesulitan ekonomi keluarga. Kala itu, Burhan masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar (SD). Ia diajak orang tuanya membantu menarik “pukat darat”. Genap usianya menginjak 15 tahun, orang tua Burhan baru mengizinkan Burhan bertaruh nasib mencari ikan di laut, namun masih berada sekitaran lhok Krueng Raya. Waktu itu, kisah Burhan, ikan masih mudah didapatkan disekitaran lhok, tidak perlu pergi jauh-jauh ke tengah laut, katanya. Saat ini, Pawang Burhan dan teman-teman nelayannya sebagai nelayan tradisional terpaksa harus melaut ke jarak 35 mil sampai dengan 60 mil laut dari lhok Krueng Raya.
Boat thep-thep di hantam badai
Mencapai jarak 35 mil sampai dengan 60 mil laut, Pawang Burhan bersama Pawang Samsul dengan boat masing-masing harus siap berangkat pukul 03.00 pagi. Perkiraannya akan sampai di tempat tujuan pada pukul 07.00 pagi.
Boleh dikatakan bermodal nekad, mengapa tidak, boat thep-thep berukuran 8 meter dengan kedalaman sekitar 1.5 meter tersebut tidak dilengkapi GPS maupun perangkat navigasi lainnya. Bahkan kenekatan mereka lebih parah lagi karena, boat mereka tidak ada awak boat yang membantunya. Tidak bisa saya bayangkan, andai saja ditengah laut Pawang Burhan terserang sakit tiba-tiba, sementara tidak ada teman lain bersamanya. Boleh dibayangkan, ia akan terbawa ombak laut entah kemana. Barangkali, keluarga yang ditinggalkannya akan bertanya-tanya, kemana dan dimakah ia ketika itu.
Namun bagi Pawang Burhan, Pawang Samsul dan nelayan lainnya, itu adalah hal sudah biasa bagi mereka. “meunyoe kamoe hana meujak meu laot, peu di pajoh aneuk inong kamoe di rumoh/ jika kami tidak pergi mencari ikan di laut, bagaimana anak istri kami bisa makan di rumah”. Dan melaut ke 60 mil laut ini bukannya kami senang, tetap terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Kata Burhan.
Bak kata pepatah, “sepandai pandai tupai melompat sekali-kali jatuh jua”. Ungkapan ini mungkin mengena bagi Pawang Burhan yang sudah menghabiskan lebih dari 30 tahun waktu hidupnya sebagai nelayan.
Selasa 25 Juni 2019 adalah hari yang tak pernah dibayangkan oleh Pawang Burhan, Ia harus bertaruh nyawa pagi itu di 60 Mil laut akibat diterpa badai. Padahal, kail pancing baru saja ditebarnya. “Untuk tak dapat di raih, malang tak dapat di tolak.” “Bot thep-thep” yang dia kemudikannya pecah dua. Ia bercerita, Saya masih tenang saat boat pecah, masih sempat mau mengingkatkan kepala boat dengan kain untuk disatukan. Tetapi usahanya sia-sia. Akhirnya, ia Pawang Samsul yang berada di bot thep-thep lain menolongnya.
Tak ada raut takut, kuatir dan trauma di wajahnya ketika saya menemuinya hari Minggu 30 Juni 2019 lalu. Ia terus bercerita. Bahkan, ia berharap boat yang dibawanya ada yang membantu menggantikannya. Karena ternyata boat tersebut milik Pawang Amri, salah seorang Ketua Teupin Lhok Krueng Raya. “Maka jih, hom, boat atra gobnyan ka hanco bak jaroe lon. Ngon hana boat gobnyan (Pawang Amri) ka menganggur lon sidroe, ka meutamah pengangguran sidroe teuk urueng Aceh/ makanya, boat milik Pawang Amri yang dihempas badai di tangan saya, dengan tidak ada boat tersebut membuat saya kehilangan pekerjaan, maka bertambah satu orang pengangguran di Aceh, yakni Saya (Red: Pawang Burhan).” Ungkapnya dengan nada lirih.
Dengan penuh harap, ia lantas mengatakan, “adak jeut beuna yang bantu boat Pawang Amri yang ka hanco nyan/ jika memungkinkan, ada yang beri bantuan untuk boat Pawang Amri tersebut,“. Katanya lagi, meunyoe hana boat, lagee ka putoh gaki lon bak lon mita raseuki/ jika tidak ada boat, saya seperti tidak ada kaki, tidak bisa lagi mencari rezeki. Lagee kheun ureung awai, “mita anuek matee nang, bak tapusiblah/tabela anuek matee droe/ seperti kata orang tua Aceh dahulu, lelah mencari anak yang hilang, akhirnya meninggal orang tuanya, umpama membela anak juga yang dijahati orang, sehingga rela mati diri sendiri (orang tua). Tutupnya.
Burhan telah menceritakan kisah hidupnya kepada kami, ketika Saya, Teuku Multazam, dan Rahmi Fajri sedang melaksanakan misi indentifikasi hukum adat laut Lhok Krueng Raya pada Ahad, 30 Juni 2019. []
Tags: Krueng Raya, nelayan Aceh, Nestapa, Panglima Laot