
Karya: Zakiatur Rahmi
LIBUR kuliah, seperti biasanya aku pulang kampung, tapi kepulangan ku kali ini tidak seperti kepulangan ku pada libur-libur kemarin nya. Libur ku kali ini penuh duka. iyaa, ayah ku sakit. Tidak hanya kali ini, ayah ku sudah sakit dari semenjak selesai operasi usus buntu 9 tahun yang lalu, sejak saat itu ayah ku selalu sakit-sakitan sehingga tidak bisa bekerja, ibu ku lah yang menjadi tulang punggung keluarga ku. Ibu ku harus banting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidup kami di bantu oleh abang ku. Banyak masalah yang sudah kami lalui hingga sampai pada tahun 2019 ini.
Singkat cerita, waktu itu ayah ku mendadak sakit seolah-olah mendapatkan serangan dari dalam tubuhnya, nafas nya tak beraturan, badannya kaku, air matanya mengalir tapi mulut nya masih menyeru nama Tuhan. Ketika itu hujan deras di kampung halaman ku, tapi abang ku tetap berusaha membawa ayah ku ke rumah mantri yang ada di dekat rumah ku. Mantri itu bilang, ada banyak angin di dalam paru-paru ayah, asam lambungnya naik dan tensi darah juga naik. Tapi mantri tetap memberi ayah ku obat pereda rasa sakit, dan ayah ku meminumnya. Selang satu jam setelah itu, obatnya tidak bereaksi apa-apa, ayah ku masih saja seperti itu.
Lalu kami membawa ayah ke Puskemas, tapi Puskemas di kampung ku tidak bisa menindak lanjuti sakit ayah. Dokter umum Puskemas merujuk ayah ke rumah sakit pusat Kabupaten. Sesampainya di sana, ternyata mereka juga tidak bisa menanganinya karena alasan alat medis yang tidak memadai, lalu ayah harus dibawa kerumah sakit Provinsi terletak di Pusat Ibu Kota Sumatera Barat, Padang. Setelah diperiksa oleh dokter spesialis, di ambil sampel darah, sampel air seni, kami baru mengetahui ayah menderita gagal ginjal.
Iya, selama ini ayah ku menahan sakit itu, sehingga harus cuci darah dua kali seminggu. Namun di karenakan aku harus balik ke Aceh karena libur telah usai, mereka pun memilih untuk pulang ke rumah.
Dirumah, ayah ku terlihat seperti rada rada aneh, selalu memberi kan petuah-peutuah yang menurut aku jarang iya keluarkan dari mulutnya selama ini. Meski sakit, ayah juga ikut mengantar ku ke travel, dengan langkah gontai dia mengiriku kedepan. Ayah bilang, “semangat kuliahnya ya nak, jangan khawatirkan ayah, ayah baik baik saja, ayah tunggu kamu pulang.” Ucap ayah perlahan sambil menahan rasa sakit yang di deritanya.
Dengan tidak ada rasa curiga aku pun balik ke Aceh, untuk melanjutkan studi ku, menggapai asa ku, dan juga menjadi harapan ayah dan ibu ku. Tiga minggu setelah kepergian ku, aku dapat kabar, ayah ku masih melakukan cuci darah seperti biasanya. Yang seharusnya dua kali seminggu, jadinya hanya sekali, karena susah bolak balik dari kampung ku (Air Bangis) ke Rumah Sakit di Kota Padang.
Walaupun aku sudah berada di Aceh, aku tetap berusaha mencari cara supaya ayahku tidak bolak balik kampung dan ke Rumah Sakit Padang untuk cuci darah, terlalu jauh, dan biaya juga. Aku pun berusaha mencarikan tempat tinggal untuk ayah ibu ku di Padang, agar mereka tidak perlu bolak balik lagi.
Waktu itu aku sudah menemukan rumah untuk mereka, niatnya, aku mau memberitahukan kabar itu besok pagi, tapi tepat tanggal 26/9/2019 jam 03.00 pagi, suara hp ku berdering. Tak biasanya ada yang menelpon pagi-pagi buta. Namun, perasaan ku tak enak. Abang ku ternyata yang menelponku. Aku mendengar suara tangis di balik telpon itu, “kita udah ngak ada ayah lagi dek”. Ya. itu yang abang ku katakan subuh itu.
Ayah ku pergi, pergi untuk tidak kembali lagi. Ayah ku meninggalkan kami. Dia pergi dengan senyum Indah di wajahnya.
Aku yang Malang, tidak bisa melihat ayah ku untuk kali terakhirnya, aku semakin jatuh, jatuh dalam sandiwara kehidupan yang begitu menyedihkan, kenapa dunia ku begitu kejam? Meski begitu, aku harus tetap tegar, kata-kata ayah yang menyemangati ku sebelum kami berpisah, kini terbayang jelas dihadapanku, “semangat kuliahnya ya nak”. Aku tetap harus tegar menghadapi musibah ini, Allah pasti punya rencana besar yang tentu belum ku ketahui. Aku pun larut, hingga ku teringat torehan Bung Karno di Tugu Darussalam, tugu kampusku di Aceh, Tekad bulat melahirkan perbuatan yang nyata. “Darussalam” menuju kepada pelaksanaan cita–cita. (Ir. Soekarno, 2 September 1959). Ku seka airmataku yang tak kusangka sudah mengalir membasahi pipiku.
Penulis adalah mahasiswa Prodi Akutansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala. Email:turrahmizakia475@gmail.com