Teuku Muttaqin Mansur

OLEH TEUKU MUTTAQIN MANSUR, Direktur Geuthee Institute Aceh, melaporkan dari Jantho Aceh Besar

PERJALANAN ke Jantho, Aceh Besar, kali ini menyisakan kesan yang mendalam. Saya dan Teuku Multazam menjadi orang yang beruntung karena dapat menyaksikan langsung prosesi hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam di halaman Masjid Agung Al-Munawwarah Kota Jantho, Aceh Besar.

Beruntung, karena sejak pemberlakuan hukuman cambuk tahun 2003 di Aceh, baru hari ini (Jumat, 5 Maret 2021) saya dapat menyaksikan langsung sebatan para algojo ke tubuh pelanggar syariat Islam di Aceh. Padahal, perjalanan saya ke Jantho sebenarnya untuk agenda yang lain. Saat melintasi masjid agung dan secara tidak sengaja kami melihat ada spanduk dan panggung persiapan prosesi hukuman cambuk yang sudah dipasang di halaman masjid. Pertanda, akan ada hukum cambuk hari ini. Cambuk akan dilaksanakan seusai shalat Jumat.

Kami berangkat dari Banda Aceh menuju Kota Jantho sekira pukul 08.10 WIB. Perjalanan dengan mengendarai sepeda motor bertambah bergairah karena kami memilih rute yang tidak biasanya. Ya, kami memilih rute alternatif, menyusuri jalan Waduk Keuliling, Gampong Siron, Indrapuri terus ke Kota Jantho. Jalanan yang sudah beraspal, walau ada beberapa tempat rusak kecil, tetapi masih tergolong mudah memacu sepeda motor dengan rata-rata 50 km per jam. Walau jarak tempuh ke Jantho melalui jalan ini agak jauh dibandingkan melalui jalan biasa, Simpang Jantho, Seulimum, tetapi pemandangan Waduk Keuliling, persawahan, dan hutan yang masih asri di sepanjang perjalanan, membuat saya makin bersemangat. Apalagi, Multazam yang duduk di belakang baru pertama kali melewati  jalan ini. “Rupanya, enak juga lewat jalan ini, aspalnya sudah bagus, pemandangannya pun  indah,” kata Multazam saat sepeda motor yang saya kenderai melewati sawah Gampong Siron. Tepat pukul 09.40 WIB, setelah menempuh perjalanan 1 jam 30 menit, kami pun tiba di Jantho, ibu kota Aceh Besar.

Di halaman Masjid Agung Kota Jantho sudah terpasang panggung ukuran 3×3 meter, teratak, dan tali garis pembatas. Satu per satu anggota Satpol PP/Wilayatul Hisbah dengan baju hijau tua mulai berdatangan. Beberapa personel polisi juga terlihat di sana.

Setelah menunaikan rangkaian shalat Jumat, kami pun bergegas mendekati panggung utama eksekusi hukuman cambuk. Seorang anggota WH yang saya tanya memberikan informasi bahwa cambuk akan dilaksanakan terhadao tujuh pelanggar syariat Islam.

Kasus judi satu orang, ikhtilat dua orang, dan dua pasangan jarimah (tindak pidana) perzinahan. “Pelaksanaan cambuk akan dilaksanakan sebentar lagi. Ini sedang menunggu pelanggar dibawa dari Kantor Kejaksaan Jantho. Kita juga sedang menunggu Wakil Bupati dan Pak Kajari,” katanya lebih lanjut.

Sejurus kemudian, mobil tahanan kejaksaan memasuki halaman masjid. Dari pintu gerbang yang lain masuk dua mobil pelat merah, masing-masing Wakil Bupati dan Kajari Aceh Besar. Wakil Bupati, Kajari, dan sejumlah undangan lain, termasuk aparat TNI/Polri duduk pada kursi di bawah teratak yang disediakan. Teratak ini berhadapan langsung dengan panggung tempat algojo akan menyebat pelanggar.

Jarak antara panggung dan teratak kira-kira 4 meter. Sekeliling teratak hingga ke panggung dibatasi dengan tali putih sebagai pembatas bagi warga yang akan menyaksikannya.

Pembawa acara mulai membacakan agenda pelaksanaan cambuk, mulai dari pembacaan ayat suci Alquran, tausiah singkat, dan doa, serta eksekusi pencambukan.

Wakil Bupati Aceh Besar, Tgk H  Husaini A Wahab (Waled Husaini) dinobatkan menyampaikan tausiah dan doa.

“Dum ta cambuk lagee nyoe, hana cambuk aleeh kiban, (Sudah banyak yang kita cambuk, masih ada juga yang melanggar. Kalau tidak dicambuk entah bagaimana (banyaknya) pelanggar,” sebut Waled dengan nada geram saat mengawali tausiahnya.

“Wahai yang kena cambuk hari ini, apakah kalian tidak mengingat orang tua kalian yang telah susah payah melahirkan kita, mendidik kita, mereka selalu mengarahkan kita ke arah kebajikan?” urai Waled panjang lebar.

Selanjutnya, lima orang jaksa dari Kejari Aceh Besar naik ke panggung, membacakan dan memanggil satu per satu pelanggar. Diawali dengan kasus judi, ikhtilat, dan berakhir dengan kasusi zina. Kemudian,  algojo juga dipanggil naik dan diminta bersiap-siap.

Algojo dengan pakaian khusus dan menutupi wajahnya kecuali mata, mengambil rotan cambuk yang disiapkan.

Dalam melaksanakan tugasnya, algojo mengikuti instruksi hitungan dari jaksa. Satu, dua, tiga, dan seterrusnya, jaksa mulai menghitung. Beriringan dengan itu, cambukan algojo mendarat di punggug pelanggar. Sesekali terdengar jelas rintihan pelanggar yang menahan sebatan.

Seorang perempuan dokter yang berada di atas panggung terlihat memperhatikan dengan serius para pelanggar yang dicambuk. Beberapa kali, saya yang berdiri di sisi kanan teratak kehormatan dengan jarak sekitar 4 atau 5 meter melihat raut wajah pelanggar yang tertunduk malu dan menahan rasa sakit. Dokter kadang juga menghampiri dan menanyakan keadaan pelanggar. Jaksa juga memastikan apakah pelanggar masih sanggup melanjutkan. Pelanggar pria dicambuk oleh algojo pria. Sedangkan yang wanita dicambuk oleh algojo wanita.

Hujan mulai turun deras kala prosesi cambuk terakhir untuk seorang wanita muda dengan kasus perzinaan. Bahkan, air hujan membasahi panggung utama menyebabkan prosesi cambuk dihentikan beberapa saat. Algojo wanita terus mengayunkan cambukannya dengan keras. Wanita muda itu merintih, aduuhh… sambil menahan rasa sakit. Dokter mendekat, memeriksa dan menanyakan kesanggupannya kala cambukan ke-80 kali mendarat di punggungnya. Terlihat wanita muda itu menganggukkan kepalanya, menunjukkan ia masih sanggup menerima hukuman lanjutan. Kemudian, jaksa melanjutkan hitungannya diikuti ayunan rotan cambukan sang algojo. “Sembilan puluh enam, sembilan puluh tujuh, sembilan puluh delapan, sembilan puluh sembilan, seratus. Selesai,” kata jaksa.

Saya kembali teringat kata-kata Waled Husaini pada bagian terakhir tausiahnya. Ia mengajak pelanggar dan  semua yang hadir, untuk sama-sama menjaga dirinya, keluarga dari api neraka, kuu anfusakum wa ahlikum naara, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.  Mari kita memohon ampun kepada Allah Swt, semoga Allah menjauhkan kita dari Covid-19 dan bencana lainnya akibat ulah kita melakukan perbuatan yang dilarang Allah Swt,” tutup Waled di akhir tausiahnya.

Setelah menunaikan shalat Asar, hujan deras masih mengguyur Kota Jantho, saya dan Teuku Multazam memutuskan untuk terus kembali ke Banda Aceh karena sebentar lagi magrib akan tiba.

Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Prosesi Hukuman Cambuk di Kota Jantho, https://aceh.tribunnews.com/2021/03/09/prosesi-hukuman-cambuk-di-kota-jantho.

 

 

Tags: , ,