OLEH  TEUKU MUTTAQIN MANSUR, Peziarah Religi dari Banda Aceh melaporkan langsung dari Barus.

 

Dari kiri ke kanan: (Abon Tgk. Teuku Tajuddin, Teuku Muttaqin Mansur, Teuku Multazam, dan Teuku Riza Fahmi)

SABTU 4 September 2021, kesempatan menziarahi makam salah seorang penyebar Islam di Nusantara, Syeikh bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal dari Hadhratulmaut, Yaman tercapai juga. Bersama jamaah zikir Dayah Darul ‘Ulum Abu Lueng Ie Kecamatan Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, di pimpin oleh Abon Tajuddin (Tgk Teuku Tajuddin bin Tgk. Teuku Usman Fauzi) kami menyusuri pemakaman bersejarah itu. Makam tersebut juga diyakini sebagai bukti kedatangan Islam pertama ke Nusantara. Makam yang terletak lebih kurang dari 200 meter dari permukaan laut berada di desa Penanggahan, Kecamatan Barus Utara, Sumatera Utara. Dulunya, pernah menjadi wilayah kesultanan Aceh pada abad ke-16.

 

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 730 km dengan waktu tempuh lebih kurang 15 jam melalui rute Pantai Barat Selatan, Subulusssalam, Simpang Rimo Singkil dan Barus, Saya, Teuku Riza Fahmi, Teungku Nasruddin Hasan, Teuku Multazam (dalam satu  mobil) dan Abon, Teungku Di, Teungku Aulia, dan jamaah dengan mobil lainnya tiba sekira pukul 16.45 WIB di lokasi pemakaman.

Usai menunaikan shalat ashar, kami mulai menapaki 800 anak tangga satu per satu. Abon Tajuddin berada di barisan depan. Di sisinya, ada Ramli (guide) yang ikut menemani. Saya yang awalnya menduhului agak didepan rombongan, harus mengalah karena tanjakan anak tangga semakin panjang dengan kemiringan sekitar 45 sampai 50 derajat. Sesekali tangan kami meraih besi pembatas yang berada di sisi tengah anak tangga untuk membantu menarik tubuh ke atas.

Cuaca sore yang mulai meredup dengan pemandangan hutan yang masih perawan di sebelah kiri kanan kami. Dan jika membalikkan tubuh ke belakang, akan terlihat pemandangan perkampungan yang cukup indah, disebelahnya lautan biru yang luas, dan tentu matahari merah pelan-pelan turun di ufuk barat menambah semangat kami untuk segera sampai ke puncak, tempat makam Syeikh berada.

Kira-kira 12 (dua belas) menit lebih perjalanan dari bawah, kami memutuskan beristirahat di sebuah pondok kecil. Tempat peristirahatan pertama itu kira-kira masih sepertiga perjalanan untuk sampai ke puncak. Nafas mulai ngos-ngosan. Sambil mengatur nafas kembali, dan meminum seteguk air yang kami bawa masing-masing, langkah menapaki anak tangga satu persatu kembali kami lanjutkan. Kami kembali berhenti pada pondok kedua dan ketiga untuk beristirahat. Pada pondok ketiga, saya hampir putus harapan, antara mampu dan tidak menaiki sekitar 20 anak tangga lagi. Meskipun hanya sedikit lagi, namun nafas panjang yang sudah dihabiskan sebelumnya membuat saya berhitung kembali. Ini tanjakan dengan kemiringan sudah mencapai 50 derajat, lebih tinggi dari sebelumnya. Abon beserta jamaah yang lain, sudah tiba di puncak.

Dalam hati saya terus berdoa, “sudah sejauh ini saya melangkah dan tinggal sedikit lagi, berikanlah hamba kekuatan Ya Allah hingga sampai ke puncak, dapat melihat dan berdoa langsung di makam sahabat Nabi, Syeikh Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal. Bismillahirrahmanirrahim, La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim.”

Kaki saya kembali melangkah perlahan dan pasti menuju puncak, tempat makam sahabat nabi berada. Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga di puncak kala Abon dan jamaah lain baru memulai samadiah dan zikir di dekat makam.

Di komplek tesebut, terdapat tujuh makam. Tapi ada satu makam yang tampak sangat berbeda dengan bentuk makam-makam pada umumnya. Jarak batu nisan antara kepala dan kaki mencapai hampir 8 meter. Tinggi kedua batu nisan mencapai sekitar 1,2 meter. Makam inilah yang menjadi tujuan kami. Menurut sejumlah literasi, makam tersebut adalah makam Syeikh Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal dari Hadramaut, Yaman. Beliau disebut-sebut wafatnya pada tahun Dal-Mim, yang bisa diartikan tahun 44 Hijriah atau abad ke-1 Hijriah.

Abon mulai membaca shalawat kepada Nabi Muhahammad Saw, Shallallahu wasallama ‘alan nabi sayyidinaa, muhammadiw wa alihi washahbihi ajma’ina, sebagai penutup samadiah, dan zikir kala mentari di ufuk barat mulai kehilangan cahaya perlahan. Azan magrib pun mulai sayub-sayub terdengar. Kami bergegas turun, menapaki kembali 800 anak tangga itu satu persatu dengan hati-hati. Wallahua’lam.

 

 

Tags: , , , ,