TEUKU MUTTAQIN MANSUR, Anggota Tim Ahli Hukum Survei Identifikasi dan Inventarisasi Tanah Ulayat Provinsi Aceh kerja sama Kementerian ATR/BPN dan Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Aceh Besar
Menjadi tim survei tanah ulayat boleh dikatakan sesuatu yang didambakan. Selama dua tahun terakhir, Dr M Adli Abdullah SH, MCL, Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sering membagikan informasi dan bercerita bagaimana pemetaan tanah ulayat begitu masif dilakukan di sejumlah provinsi lain dengan melibatkan perguruan tinggi terbaik di Indonesia.
Langkah itu dilakukan, selain karena kebijakan pemerintah, juga karena adanya semangat dan kepedulian yang tinggi untuk menyelamatkan tanah ulayat yang mungkin masih tersisa di republik ini.
Tidak terbayang, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang mengamanahkan penatausahaan hak ulayat (tanah ulayat di dalamnya) sejak 60 tahun lalu masih menimbulkan karut-marut permasalahan tanah di Indonesia.
Tahun ini, Universitas Syiah Kuala (USK) dipercayakan oleh Kementerian ATR/BPN. Rektor mengamanahkan tugas mulia tersebut kepada tim peneliti Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat USK. Tim bertugas memastikan setiap jengkal tanah ulayat dapat diselamatkan, sekurang-kurangnya teridentifikasi keberadaannya.
Tim ini, atas kepercayaan Rektor USK, diketuai oleh Dr Sulaiman Tripa S.H., MH, Dosen Hukum dan Masyarakat pada Fakultas Hukum USK. Kegiatan ini berlangsung selama sebelas hari untuk tim surveyor/enumerator (26 Mei-4 Juni 2023), dan tim supervisi selama sepuluh hari (28 Mei-6 Juni 2023).
Identifikasi dan iventarisasi tanah ulayat dilaksanakan di sepuluh kabupaten dari 23 kabupaten/kota di Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Jaya. Pemilihan sepuluh kabupaten ini didasarkan pada informasi awal dan hasil studi tim dalam lima tahun terakhir bahwa di kabupaten-kabupaten tersebut berpotensi masih terdapat tanah ulayat.
Apa itu tanah ulayat?
Merujuk Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri (Permen) ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, tanah ulayat adalah tanah yang berada di wilayah penguasaan masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada dan tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.
Pada kedua permen di atas, unsur “menurut kenyataannya masih ada” merupakan bentuk prasyarat pengakuan formal ada tidaknya tanah ulayat, termasuk di Provinsi Aceh.
Unsur ini juga sejalan dengan bunyi Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat…”
Walaupun reportase ini tidak hendak membahas secara spesifik unsur tersebut, tetapi pernyataan beberapa pihak yang mengatakan bahwa di Aceh tidak ada lagi tanah ulayat sangat menganggu sebagian besar masyarakat hukum adat di Aceh.
Keadaan ini, pernah dialami saat usulan hutan adat mukim. Untuk memastikan hak hutan adat, mukim harus berjuang lebih tujuh tahun lamanya. Hingga akhirnya 7 September 2023 ditetapkan hutan adat mukim oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan atas nama Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Surat penetapan hutan adat mukim sendiri diserahkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada 18 September 2023 di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Tanah ulayat di Aceh
Sesungguhnya, frasa “tanah ulayat” jarang terdengar di Aceh. Dari beberapa lokasi yang sempat saya supervisi, di Aceh Besar misalnya, tanah yang seumpama fungsi dan riwayat tanah ulayat disebut dengan ‘padang meurabee’, berupa hamparan padang rumput dan semak belukar yang berfungsi sebagai tempat menggembalakan ternak masyarakat secara bersama dalam satu kawasan mukim.
‘Tanah reuleut’, hamparan tanah yang digunakan untuk perkebunan masyarakat atas izin mukim, dengan ketentuan dan persyaratan tertentu masih ditemukan.
Ketika saya bersama Bang Adli—begitu mantan staf khusus Menteri Dr Sofyan A Djalil MA itu biasa saya sapa—berkunjung ke Dataran Tinggi Gayo pada akhir Mei 2023, sebutan ‘tanah peruweren’ (lokasi gembalaan ternak) masih teridentifikasi sebagai tanah adat yang mirip dengan definisi tanah ulayat.
Namun, sebagian besar masyarakat hukum adat yang kami temui mengungkapkan, masih cukup banyak dan luas tanah dengan sebutan tanah adat yang dipergunakan secara turun-temurun oleh masyarakat. Namun, terkadang sudah diklaim oleh pihak tertentu sebagai pemilik hak.
Setelah penelitian dilaksanakan, tim riset mampu membuktikan bahwa masih terdapat tanah ulayat di Aceh. Tim menemukan 148 bidang tanah ulayat dengan luas 472.093.65 hektar yang tersebar di 10 Kabupaten di Provinsi Aceh.
Kendala
Meskipun antusiasme tim survei dan tim supervisi menelusuri jejak tanah ulayat yang diturunkan ke sepuluh kabupaten cukup tinggi, pada beberapa wilayah yang disurvei, justru mukim sebagai masyarakat hukum adat kurang memiliki pengetahuan yang baik terhadap keberadaan tanah ulayat/tanah adat dalam kawasan mereka.
Pengaruh modernisasi, ‘transaksional’ dengan pihak-pihak tertentu, lemahnya dukungan pemerintahan kabupaten, dan kuatnya dominasi desa pasca-Undang-Undang Desa di antara faktor penyebab makin melemahnya fungsi mukim, termasuk dalam hal penguasaan hak terhadap tanah ulayat.
Kesimpulan
Upaya identifikasi dan inventarisasi tanah ulayat di Aceh atas prakarsa Kementerian ATR/BPN bekerja sama dengan USK dapat dijadikan batu loncatan bagi pemerintah daerah dalam menatausakan kembali tanah-tanah ulayat/tanah adat di Provinsi Aceh yang masih tersebar di berbagai penjuru.
Selain bertujuan supaya adanya kepastian hukum hak atas tanah adat, juga untuk menghindari terjadinya konflik apabila nantinya terhadap tanah-tanah ulayat tersebut diklaim/dikuasai/diberikan hak kepada pihak lain. []
Artikel ini telah dipublikasi pada: https://aceh.tribunnews.com/2023/10/25/menelurusi-jejak-tanah-ulayat-di-aceh