Teuku Muttaqin Mansur
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala dan Peneliti Hukum Adat)
Panglima Laot merupakan salah satu lembaga adat yang masih eksis di Ace
h. Keberadaan Panglima Laot perlu dilestarikan, dipelihara dan dilindungi baik oleh para Panglima Laot bersama nelayan sendiri maupun dari pemerintah. Kini pasca lahir Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan disahkan Qanun Aceh Nomor 9 dan Nomor 10 tahun 2008 kedudukan Panglima Laot semakin kuat secara legal formal.
Panglima Laot di Aceh menyambut gembira pengesahan Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun No 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat yang merupakan penjabaran dari UUPA. Qanun tersebut lahir setelah adanya perjuangan panjang dan advokasi secara terus menerus para Panglima Laot. Dan saat ini sudah membuahkan hasil, di mana Panglima Laot secara tegas dan jelas diatur dan diakui keberadaannya dalam sistem perundang-undangan Nasional sebagai salah satu lembaga adat yang masih hidup dan berkembang di Aceh .
Sebernanya sejarah panglima laot di Aceh sudah dimulai sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Adli Abdullah, 2006 : 7), dan saat ini kehadiran panglima laot sudah lebih dari 400 tahun. (Kurien, John, 2008 : 2). Menurut M. Adli Abdullah dkk (2006 : 7) panglima laot pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memiliki 2 tugas yaitu memobilisasi peperangan dalam rangka melawan penjajahan dan memungut cukai (pajak) dari kapal-kapal yang singgah pada tiap-tiap pelabuhan di Aceh.
Dalam perjalanan selama 400 tahun, panglima laot yang merupakan warisan endatu masih selalu hidup dalam pergaulan masyarakat nelayan di Aceh, tetapi seiring dengan perubahan peta perpolitikan pada masa penjajahan, kermerdekaan, pasca kemerdekaan dan pasca MoU Helsinki telah terjadi pergeseran peran, fungsi dan tugas, wewenang panglima laot. Karena faktor itu, maka setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tugas dan wewenang panglima laot mulai bergeser menjadi, pertama sebagai pengatur tata cara penangkapan ikan dilaut atau dalam istilah hukum adat laut di sebut meupayang dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antar nelayan dilaut. Kenyataan demikian, membuat panglima laot masih tetap mempertahankan statusnya sebagai penegak hukum adat laot dan masih sangat dihargai oleh masyarakat nelayan di Aceh.
John Kurien (2008 : 9) seorang profesor antropologi dan advisor fisheries di UN FAO Banda Aceh dalam survey terhadap panglima laot pada tahun 2007 mengindikasikan bahwa penghormatan terhadap panglima laot dari nelayan masih sangat tinggi. Setidaknya dalam periode 10 tahun terakhir belum ada sengketa hukum adat antar nelayan yang terjadi dilaut yang dilaporkan kepada panglima laot maupun pihak berwajib. Ini menunjukkan betapa hukum adat laot masih sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat nelayan di Aceh.
Panglima Laot Pasca UUPA
Pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), keberadaan Panglima Laot di atur dalam Pasal 98 ayat (2) huruf (i). Sinergisasi pasal ini dilanjutkan pada tugas pokoknya dalam rangka penegakan hukum adat laot dan keamanan di laut sebagaimana dinyatakan dalam pasal 162 ayat (2) huruf (e) “Pemerintah Aceh dan Kabupaten /Kota mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi huruf e “pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut”.
Penjabaran dari perintah UUPA itu, lahirlah Qanun Aceh Nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Qanun Aceh tentang Pembinaan Adat dan Adat Istiadat menitikberatkan pada penyelesaian sengketa adat laot oleh panglima laot sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) bahwa ”penyelesaian sengketa adat meliputi penyelesaian sengketa adat di Gampong, Adat di Mukim dan Adat di Laot”. Kemudian qanun ini juga merincikan tata cara penyelesaian sengketa adat laot yang terjadi dikalangan nelayan di Aceh dimulai dengan penyelesaian pada tingkat lhok oleh panglima laot lhok dan apabila terjadi sengketa antar nelayan antar 2 panglima laot lhok tidak bisa diselesaikan oleh panglima laot lhok maka dapat diselesaikan oleh panglima kabupaten/kota (pasal 14 ayat (5, 6, 7 dan 8).
Sedangkan Qanun Aceh tentang Lembaga Adat lebih mengatur pada struktur organisasi, tata cara pemilihan panglima laot, wewenang, tugas dan fungsi panglima laot di Aceh. Mengenai struktur organisasi panglima laot disebutkan dalam pasal 27 ayat (1): Panglima Laot terdiri dari : Panglima Laot lhok ; Panglima Laot kabupaten/kota ; dan Panglima Laot Aceh.
Sementara tata cara pemilihan sebagaimana di atur dalam ayat (2) bahwa: “Panglima laot lhok , dipilih oleh pawang-pawang boat lhok masing-masing melalui musyawarah. (3) Panglima Laot kab/kota dipilih dalam musyawarah panglima laot lhok serta ayat (4) Panglima Laot Aceh dipilih dalam musyawarah panglima laot kab/kota setiap 6 (enam) tahun sekali.”
Wewenang, Tugas dan Fungsi panglima laot dalam qanun Aceh ini bila dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya. Qanun ini telah menambahkan 1 point penting yang menjadi kewenangan panglima laot yaitu seperti disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) huruf (d): panglima laot berwenang mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot, peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
Perkembangan maraknya penangkapan ikan secara ilegal, nelayan Aceh terdampar ke negara lain yang terjadi akhir-akhir ini menambah tugas panglima laot sebagai pemimpin nelayan ini. Tugas pencegahan terhadap penangkapan ilegal (ilegal fishing) tercermin dalam ayat (2) huruf (f), sedangkan tugas menangani nelayan yang terdampar ke negara lain dibebankan kepada panglima laot Aceh dalam Pasal 28 ayat (4) huruf (b), yaitu, “memberikan advokasi kebijakan kelautan dan perikanan serta memberikan bantuan hukum kepada nelayan yang terdampar di negara lain“.
Bila kita cermati secara mendalam terhadap wewenang, tugas dan fungsi yang diembankan oleh panglima laot, setidaknya menunjukkan adanya peluang besar dalam meringankan tugas pemerintah dilaut. Tetapi sebaliknya, pemerintah juga harus peduli, tidak menutup mata terhadap keluhan, kendala dan semua persoalan mereka dilapangan dalam rangka menunjang amanah dari qanun dan harapan masyarakat nelayan ini. Karena itu, perlu ada perhatian dan pembinaan lebih baik agar panglima laot tidak kalah ditaklukkan zaman.
Artikel ini telah di edit kembali dan pernah dipublikasikan di http://www.panglimalaotaceh.org/artikel/panglima-laot-pasca-uupa/
Tags: Panglima Laot, Teuku Muttaqin Mansur, UUPA