Rasanya tidak ada masyarakat Aceh yang tidak pernah mendengar kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur – Malaysia, sebab kawasan ini dikenal sebagai pasar dagangnya masyarakat Aceh di Malaysia. Nah, apabila kita berkunjung ke Malaysia, seolah belumlah dianggap lengkap seandainya kita belum singgah untuk mengunjungi ‘pasar Aceh’-nya warga Aceh di Malaysia tersebut.
Begitupula dengan Sulaiman Tripa dan Ima Dwitawati, dua Peneliti Pusat Studi Hukum Adat Laot dan Kebijakan Perikanan (PUSHAL-KP) Unsyiah saat transit penerbangan Air Asia di Kuala Lumpur pada 7 Januari 2012. Kedua mereka saat itu tengah mengadakan suatu perjalanan ke Bangkok, Thailand untuk melakukan presentasi kearifan lokal laut Aceh yang diselenggarakan oleh International Collective Support of Fish Worker (ICSF).
“Jak tajak kalon gampong Aceh Chow Kit” ajak Sulaiman ketika kami bertemu di Kuala Lumpur Sentral (KL-Sentral), pusatnya stasiun kereta api antar kota dan antar Negara di Malaysia. Saya bersama isteri menemani mereka untuk melihat-lihat keunikan pasar Chow Kit tersebut. Tetapi sejujurnya saya belum terlalu familiar dengan kawasan itu meski ini adalah kali ke tiga saya mengunjungi kawasan tersebut selama hampir 4 bulan saya berada di Malaysia.
Pasar Chow Kit terletak di ujung utara Jalan Tunku Abdul Rahman, namun kebanyakan pedagang Aceh berdagang di sepanjang jalan Raja Alang yang bersisian dengan Safuan Plaza. Atau apabila turun di stasiun kereta api Monorail maka kita terlebih dahulu menyeberangi jalan Tunku Abdul Rahman baru kemudian berbelok ke kiri.
Belokan kiri tersebut dinamakan jalan Raja Alang. Di kawasan inilah kebanyakan pedagang Aceh berjualan. Di sepanjang jalan tersebut terlihat kios-kios buah-buahan masyarakat Aceh berjejeran manakala waroeng bue dan mie Aceh (warung nasi dan mie Aceh) berada bersisian dengan Safuan Plaza. Ramai masyarakat Aceh baik yang berada di kawasan Chow Kit sendiri maupun di tempat-tempat lain datang ke sana untuk melahap makanan khas Aceh. Kamipun menyempatkan diri makan siang di warung tersebut.
Sementara itu kedai-kedai runcit (kelontong) berada teratur setelahnya, begitupun kios-kios jamu yang juga milik orang Aceh ini berjejer dengan rapi. Mudah saja kita mengenal para pedagang Aceh di sana, sebab semua mereka menggunakan bahasa Aceh dalam bertutur, persis seperti Pasar Aceh di Aceh terkecuali bila ada pembeli orang Melayu.
Memang pedagang Aceh di Malaysia sebenarnya tidak hanya di Chow Kit ini saja, banyak dari mereka juga menyebar di wilayah-wilayah lain di Malaysia, seperti : di Puchong, Sungai Tangkas, Kajang, Bandar Tasik Selatan, Sungai Buloh. Akan tetapi Chow Kit adalah sentralnya pedagang Aceh. Konon, menurut seorang pedagang di sana, jika bulan Maulid tiba, di kawasan Chow Kit ini kerap digelar Kenduri Maulid dengan menyembelih 12-15 ekor sapi.
Saat ini pun pedagang di sini telah membentuk sebuah wadah yang menyatukan dan memperkuat ikatan para pedangan Aceh yaitu Dewan Perdagangan Aceh Malaysia (DPAM). DPAM pada periode pertama ini diketuai oleh Datok Muhammad Feisol bin Hassan sebagai presiden steering committee. Sedangkan Organising Committee yang ketuai oleh H Mansur Kasim,, H Mansur Usman, Amir Hasan Bin Amin, Ir Dr H.M.Sabri dan Tgk Rauyani Bin Tgk Abdullah dan Zaini Mansur.
Bagi Sulaiman, Ima, Saya dan Istri, tentu berkunjung ke pasar Acehnya orang Aceh di Malaysia mempunyai makna tersendiri apalagi terasa adanya atmosfir keberhasilan masyarakat Aceh di negeri Jiran Malaysia dibandingkan dengan warga lain dari Indonesia yang menetap di sini. Namun yang patut menjadi catatan, kita tidak mau mendengarkan stigma bahwa ada diantara pedagang Aceh juga di anggap lihai sebagai pedagang dadah di Negeri orang ini, sebagaimana imej yang diungkap oleh Muhajir Ismail dalam laporan citizennya pada harian Serambi Indonesia edisi 1 Desember 2011 yang lalu.
Tulisan ini sudah pernah dipublikasi oleh koran Harian Serambi Indonesia edisi Senin, 9 Januari 2012. Meski demikian, ada beberapa bagian dalam tulisan ini yang ditambahkan sebagai pelengkap dari tulisan tersebut.
Tags: Adat, Agama, Berita, Energi Terbarukan, Gallery, Hukum, Jurnal Geuthee, Opini, Program, Riset, Sosialisasi Humaniora