Oleh:

Teuku Multazam

(Peneliti Energi Terbarukan Geuthee Institute)

Populasi permintaaan energi listrik di berbagai belahan bumi dunia mengalami peningkatan pesat. Hal serupa juga terjadi di negara Indonesia, pertumbuhan industri dan penduduk adalah faktor pemicu terjadinya. Kondisi yang sama juga terjadi di Provinsi Aceh.

Untuk menutupi permintaan tersebut, PLN regional Aceh meminta bantuan pasokan daya dari provinsi seberang, yakni Sumatera Utara. Dari berbagai literatur bacaan yang penulis dapatkan, hingga saat ini total kebutuhan daya untuk beban puncak yang diperlukan oleh PLN di Aceh sebesar 351 Mega Watt. Dari total daya yang dibutuhkan itu, Pembangkit Listrik dari Sumatera Utara menjadi pemasok daya terbesar untuk para konsumen listrik di Provinsi Aceh. Ketergantungan pasokan daya dari seperti ini sudah terjadi sudah sekian lama.

Tentunya, hal tersenut merupakan sebuah permasalahan lama dan perlu dianggap serius, serta diharapkan untuk tidak dibiarkan secara berlarut-larut. Sebab, jika itu terjadi dikhawatirkan ke depan persoalan yang saerupa akan kembali muncul di kemudian hari.

Potensi Melimpah

Provinsi Aceh yang sudah diberikan kewenangan besar oleh pemerintah pusat melalui disahkankan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU PA) telah memberikan peluang besar untuk mengelola listrik secara otonom. Dimana, manajemen pendistribusian dan pengadaan pembangkit energi listrik bisa dikontrol oleh pemerintah Aceh. Apalagi, provinsi kita dikaruniakan Allah akan berbagai potensi listrik yang melimpah dari berbagai sumber.

Berdasarkan data Dari Dinas Pertambangan dan Energi Aceh menyebutkan, pada alam Aceh terdapat banyak potensi listrik yang seperti, hydro power (tenaga air) yang terletak di Potensi daya yang tersedia di Jambu Air sebesar 37,2 Mega Watt, Krueng Jambuaye sebesar 181,8 Mega Watt, Krueng sebesar 171,6 Mega Watt, Jambuaye/Bidin sebesar 246 Mega Watt, Krueng Peureulak sebesar 34.8 Mega Watt, W. Tampur sebesar 428 Mega Watt, Krueng Peusangan 90 Mega Watt, Krueng Jambo Papeun 95,2 Mega Watt, Krueng Kluet sebesar 141 Mega Watt, Krueng Sibubung 121,1 Mega Watt, Krueng Teripa Tiga 172,6 Mega Watt, Krueng Teripa 306,4 Mega Watt, Krueng Meulaboh sebesar 82,1 Mega Watt, Krueng Pameu sebesar 160,6 Mega Watt, Krueng Woyla sebesar 274 Mega Watt, Krueng Dolok 32,2 Mega Watt, Krueng Teunom 288,2 Mega Watt.

Lalu, potensi listrik dari geothermal (panas bumi), total kapasitas potensi daya yang tersedia di Provinsi Aceh sebesar 1.115 MWe. Energi itu terletak di Sabang dengan potensi sebesar 125 MWe, Aceh Besar sebesar 228 MWe, Pidie sebesar 150 MWe, Bener Meriah sebesar 200 MWe, Aceh Tengah sebesar 220 MWe, Aceh Timur sebesar 25 MWe, Aceh Tamiang sebesar 25 MWe, dan Kabupaten Gayo Lues sebesar 142 MWe. Kemudian potensi energi listrik lain juga terdapat pada angin, tata surya (matahari) dan batu bara, yang daya dihasilkan belum diproyeksikan.

Namun demikian, jika diakumulasikan potensi energi listrik dari terbarukan jenis air saja, maka daya yang akan dihasilkan adalah 2862.8 Mega Watt. Daya yang mampu dibangkitkan itu sudah melebihi beban puncak saat ini. Belum lagi dengan potensi energi-energi listrik yang diciptakan Allah melalui biogas (tumbuhan, hewan dan manusia). Tentunya, jika ini mampu diwujudkan, Provinsi Aceh akan menjadi daerah “Swasembada Energi”.

Lalu pertanyaan, kenapa potensi yang telah diciptakan Allah ini tidak dimanfaatkan dengan baik?

Aneh dan lucu. Itulah mungkin kata yang akan keluar dari semua kita. Sebab, sebagai negeri yang diberikan kekayaan akan potensi listrik, namun kita tidak pernah menggarapnya dengan serius melainkan berharap sedekah dari provinsi tetangga.

Solusi

Hendaknya dengan ada potensi-potensi listrik yang diberikan Allah seperti ini, tentunya keseriusan pemerintah daerah sangat diharapkan. Selama ini, Pemerintah Aceh berkesan seperti menunggu boh ara anyot, artinya pemerintah kurang bekerja keras dalam melobi para pihak untuk berinvestasi di Aceh pada bidang kelistrikan.

Jika saja, setengah dari potensi yang tersedia itu digarap saja, maka tentunya Aceh mampu menyuplai energi untuk beberapa wilayah di provinsi lain dan memutus mata rantai pemasok energi dari luar. Namun demikian, untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemerintah Aceh perlu melakukan beberapa hal.

Pertama adalah adanya keseriusan dari pemerintah Aceh dalam dalam menggarap potensi yang telah ada. Keseriusan itu harus dibuktikan dengan adanya upaya yang kuat untuk menyakinkan para investor baik dalam negeri maupun dari luar negeri untuk membangun pembangkit energi listrik. Kedua adalah, adanya jaminan keamanan dan kenyamanan. Keamanan tersebut tidak hanya pada sisi keamaan semata, tetapi juga berhubungan dengan birokrasi. Artinya, Pemerintah Aceh harus mempermudah para investor dalam berbagai aspek birokrasi, seperti; adanya kemudahan dalam pengurusan izin, pemetaan lahan yang berpotensi energi secara jelas, serta mempublikasi data-data penting yang berhubungan dengan energi melalui website-website resmi secara jelas dan detil. Disamping itu, pemerintah Aceh juga harus membuat pola kerangka kerja yang jelas bagi para investor yang ingin menanamkan saham di bidang kelistrikan dengan tidak mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat.

Insya Allah, jika hal ini dilakukan, ke depan Aceh negeri yang kaya akan potensi energi ini tidak lagi mengharap sedekah listrik dari provinsi lain. Dan, tentunya dengan semakin banyak pembangkit yang dibangun, Aceh tidak lagi bergantung listrik pada daerah lain, dan bahkan pengangguran di Aceh akan semakin berkurang. Waallahu a’alam bishawab.